Potensi Ekonomi Syariah dan Sukuk:
Prospek dan Tantangan
Pertanyaan yang diajukan oleh Penyelenggara
seminar pada dasarnya adalah menggarisbawahi fakta bahwa, “kinerja pasar modal
Indonesia yang mengkilap sepanjang tahun 2007 ternyata tidak diimbangi dengan
kinerja pada sektor riil atau sektor yang menyerap tenaga kerja”. Dengan contoh
Bursa Efek China yang mempunyai kinerja mengkilap dan juga dapat meningkatkan
kinerja sektor riil, mengapa Bursa Efek Indonesia tidak bisa berbuat yang sama?
Saat ini, kondisi ekonomi Indonesia dapat
dikatakan stabil. Pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia naik 6.0%
pada triwulan I 2007 dibandingkan periode yang sama 2006. Sedangkan pertumbuhan
ekonomi Indonesia tahun 2006 sebesar 5,48%, dibandingkan tahun 2005 sebesar
5,68%. Dilain sisi inflasi turun dari 10,7% di tahun 2005 menjadi 6,5% di tahun
2007.
Dalam bidang perbankan, ternyata juga ada
kemajuan yang cukup signifikan, yaitu jumlah penghimpunan dana pada bank umum
terus meningkat, dari Rp. 1.096,9 triliun pada Desember 2006 menjadi Rp 1.289,6
triliun pada Desember 2007. Sedangkan fluktuasi nilai tukar dollar Amerika
relative stabil, dengan kisaran di sekitar Rp. 9.000 per dollar Amerika.
Sedangkan, dalam instrumen keuangan lainnya,
seperti asuransi, reksadana, Sertifikat Bank Indonesia, Surat Utang Negara dan
lain-lain juga cukup baik. SUN juga membuktikan bahwa selalu habis terpesan
pada saat diterbitkan. Dalam hal reksadana, total NAB Reksadana per 2007 sudah
mencapai nilai Rp. 73,67 triliun.
Semua ini dapat menjadi indikator bahwa
kondisi ekonomi, perbankan, dan keuangan Indonesia mengalami kemajuan yang
cukup menjanjikan.
Namun mengapa kurang sekali kemajuan dalam
sektor riil?
Banyak assumsi dan hipotesa, baik yang
diajukan oleh para akademisi maupun praktisi ekonomi Indonesia guna menjawab
pertanyaan ini, antara lain berkaitan dengan:
1.
Kurangnya kepastian aturan hukum dan
penegakan hukum di Indonesia.
2.
Kondisi sosial politik dan ekonomi yang masih
labil.
3. Daya beli masyarakat yang rendah; dan yang berperan aktif dalam pasar modal
hanyalah “pihak-pihak yang itu-itu” juga. Dengan kata lain, masih rendahnya kemampuan investor Indonesia pada
umumnya
4. Kekhawatiran akan perubahan
kebijakan ekonomi nasional, yang cenderung berubah-ubah, seiring dengan
kepentingan politik penguasa.
Paper ini ikut mempertanyakan hal ini, namun mencoba mengajukan
assumsi dari sisi yang berbeda, yaitu bahwa kurang berkembangnya ekonomi sektor
riil, adalah karena kurangnya dilakukan ekplorasi akan sumber-sumber dan
potensi ekonomi lain, yang dalam hal ini Sukuk; dan kurang “sigap”nya pejabat
pembuat peraturan dan yang berwewenang mengatur pasar modal di Indonesia, dalam
mengantisipasi dan menangkap peluang dari tumbuhnya ”trend” ekonomi baru, baik
di wilayah Asia maupun Eropa saat ini, yaitu meningkatnya dana syariah dan
berkembangnya sukuk, khususnya dari negara-negara yang mulai mengadopsi
perekonomian syariah.
Sekilas Perkembangan Ekonomi
Global : Ekonomi Syariah dan Sukuk
Sejak akhir dekade 1990an perekonomian global di goyang oleh
pesatnya pertumbuhan perekonomian China
dan India.
Sedangkan, dibelahan dunia lain, perekonomian lesu karena meningkatnya harga
minyak dunia yang menembus batas US $100 per barrel, yang akhir-akhir ini,
ditambah dengan krisis Sub-Prime Mortgage di Amerika yang juga mempengaruhi
kondisi lesunya perekonomian dunia.
Namun, disisi lain, yang luput dari pengamatan kita, khususnya
para Pimpinan institusi perekonomian Indonesia, adalah berkembangnya
perekonomian Syariah, khususnya perkembangan kekuatan dana likuiditas dan
investasi di wilayah Timur Tengah.
Sejak akhir dekade 90 an, dengan adanya “oil price boom” terdapat
peningkatan dana di wilayah Timur Tengah. Sedemikian besarnya dana ini,
sehingga ada yang menyatakannya sebagai timbulnya “Oasis Economies” (Joe Saddi,
Karim Sabbagh & Richard Shediac, Oasis
Economies, Booz Allen Hamilton, 2008).
“Oasis economies” ini bukan hanya karena besarnya investasi di
negara-negara teluk, tetapi juga tumbuh pesatnya perkonomian yang berdasar
kepada syariah perkonomian Islam. Diawali dengan penerbitan “ijarah sukuk” atau
“fixed rate bond” oleh Pemerintah Bahrain, kemudian oleh Dinas Penerbangan
Sipil Dubai (Hjh Salma Bee Hj Noor Mohamed Abdul Latif & Dr. Abul Hassan, Issuance of Sukuk Landmark Towards
Islamic Capital Market in Brunei Darussalam, Borneo Bulletin,
November 16, 2005), sampai akhir-akhir ini penerbitan sukuk oleh Pemerintah
Malaysia, telah mendorong tumbuhnya perekonomian dan investasi yang berdasar
kepada syariah Islam.
Sedemikian besarnya perekonomian yang berdasar pada ekonomi
syariah ini, sehingga Sandard & Poor memperkirakan bahwa asset keuangan
Islam saat ini telah mencapai US$ 531 milyard pada akhir tahun 2006, US$ 750
milyar pada tahun 2007, dan berpotensi berkembang menjadi US$ 4 trillion dalam kurun
waktu kurang dari 5 tahun (Fuwad Beg, Islamic
Finance and the War for Talent, Centriva, Strategic Business, April
1, 2008; dan Ayman H. Abdel-Khaleq & Christopher F. Richardson, New Horizons for Islamic Securities:
Emerging Trends in Suku Offerings, Chicago Journal of International
Law, Vol 7, no. 2,Winter 2007).
Dalam mengantisipasi besarnya pertumbuhan dana syariah ini,
Pemerintah Malaysia melakukan tindakan yang cukup berani, yaitu mulai tahun
anggaran 2007, Pemerintah Malaysia memberikan insentif dengan memberikan
“kebebasan pajak” sampai dengan tahun 2016 kepada bank-bank Islam di Malaysia,
baik yang melakukan transaksi dengan pihak-pihak asing dengan menggunakan mata
uang asing maupun Ringgit Malaysia (Jennifer Chang, Budget 2007: A Boost for Islamic Bank,
Preicewaterhouse Coopers, The Edge, Sept 18, 2006).
Perkembangan pasar modal dengan berdasar pada ekonomi Syariah dan
Sukuk di Malaysia telah amat berkembang. Bukan saja Pemerintah Malaysia
amat mendukung, akan tetapi juga tambahan kemudahan-kemudahan diberikan oleh
otoritas keuangan/perbankan dan Pasar Modal Malaysia untuk tetap dapat terus
“memancing” dana syariah, terutama dari Timur Tengah. Pertumbuhan pasar modal
Syariah di Malaysia juga amat menjanjikan. Per 30 September 2007, dana “Syariah Based Unit Trust Fund”
di Bursa Efek Malaysia,
tercatat hampir mencapai 21 triliun ringgit. Pada kwartal ke 3 tahun 2007,
jumlah sukuk di Malaysia
14,730 milyar ringgit yang diterbitkan oleh 14 perusahaan. Bahkan Menurut Aslim
Tadjudin, Deputi Gubernur BI pada saat Lokakarya Sukuk 19 Juni 2007, menyatakan
bahwa dari sekitar US$ 13,8 milyar sukuk global US$ 11,5 milyar atau sekitar
80% dikuasai oleh Malaysia.
Bahkan, negara kecil seperti Brunei Darussalam dan Singapura juga
sudah menerbitkan peraturan pemerintah berkenaan dengan sukuk dan bersiap-siap
berlomba menimba dana syariah ini.
Indonesia: Perkembangan Ekonomi Syariah dan Sukuk.
Di Indonesia sendiri, secara sederhana dapat dikatakan bahwa
perkembangan perekonomian syariah sudah semakin terlihat kemajuannya. Dimulai
dengan UU no 19 tahun 1998 tentang Perubahan atas UU no. 7 tahun 1992 tentang
Perbankan, maka landasan untuk operasionalisasi bank Syariah telah ditetapkan.
Ditambah lagi kemudian dengan UU no: 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, maka
Bank Indonesia telah mempunyai landasan hukum yang kuat untuk dapat menerapkan
prinsip-prinsip syariah dalam bidang perbankan dan keuangan. Saat ini, sudah
semakin banyak bank nasional dan asing yang sekarang membuka pelayanan bank
secara syariah. Dari data BI tercatat posisi perbankan syariah sebesar 1,7%
atau bernilai Rp. 33.3 triliun dibanding dengan bank konvensional (Kominfo
Newsroom, 8 Januari 2008). Pertumbuhan asset perbankan syariah diperkirakan
sekitar 31%.
Demikian juga berbagai kegiatan obligasi syariah (Mudharabah dan
Ijarah) yang diterbitkan oleh beberapa perusahaan publik di Indonesia. Diawali hanya dengan
Fatwa Dewan Syariah Nasional, MUI, no: 32/DSN-MUI/IX/2002, dan dengan Obligasi
Syariah Indosat (2002) sebagai pelopornya, pasar modal syariah mulai mencoba
mencari bentuknya di Indonesia (lihat antara lain, Keputusan Bapepam no: Kep-386/BL/2007).
Sebenarnya, Dewan Syariah Nasional, MUI, amat aktif mengeluarkan
fatwa-fatwa yang menunjang perkembangan kegiatan ekonomi dan pasar modal
syariah di Indonesia. Diterbitkannya peraturan-peraturan baru oleh Bapepam
berkenaan dengan “keuangan syariah” ini juga atas dukungan Dewan Syariah
Nasional. Bahkan, dalam pertemuan antara Dewan Syariah Nasional dengan Dirjen
Pajak pada bulan Maret 2008, pemerintah telah sepakat untuk menghapus pajak
yang terkait dalam transaksi murabahah di lembaga keuangan syariah. Namun
demikian, mungkin karena MUI bukan lembaga ekonomi, maka belum banyak pelaku
ekonomi dan keuangan yang menyimak keberadaan fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional
di MUI ini.
Dalam Siaran Pers “30
Tahun Diaktifkannya Kembali Pasar Modal Indonesia” tanggal 10
Agustus 2007, Bapepam melaporkan bahwa perkembangan Obligasi Syariah tumbuh
sebesar 23,53% dan nilai emisi tumbuh 47,70% terhitung Sejak akhir tahun 2006.
Sampai akhir Juli 2007, terdapat 21 Emiten (12,21% dari total emiten dengan
nilai emisi Rp. 3,174 triliun atau 2,47% dari total emisi obligasi. Sedangkan
dalam hal Reksadana Syariah, dalam periode yang sama, juga telah tumbuh sebesar
14,29% dengan NAB tumbuh sebesar 75,11%. Sampai dengan Juli 2007, terdapat 24
Reksadana Syariah (6,1% dari total Reksadana) dengan NAB sebesar Rp 1.214,72
milyar (1,68% dari total NAB Reksadana sebesar Rp. 73.670,62 milyar). Kemudian,
pada Koran Sindo Edisi Sore tanggal 20 Januari 2008, diberitakan bahwa dari
Data Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan disebutkan bahwa hingga
akhir tahun 2007 total kumulatif penerbitan sukuk mencapai 21 emiten dengan
nilai emisi sukuk korporasi mencapai Rp. 3,7 triliun. Dari jumlah tersebut, 19
sukuk di antaranya masih beredar dengan nilai emisi sebesar Rp. 2,9 triliun,
terdiri atas sukuk Mudharabah sebesar Rp. 705 milyar dan 13 suku Ijarah sebesar
RP. 2,2 triliun.
Bapepam mulai mengeluarkan peraturan yang berkaitan dengan Efek
Syariah pada tahun 2006 dengan Keputusan no: Kep-130/BL/2006 dan no:
Kep-131/BL/2006 tanggal 23 November 2006. Peraturan ini kemudian
ditindaklanjuti dengan Keputusan Bapepam n: Kep-314/BL/2007 tanggal 31 Agustus
tentang “Kriteria dan
Penerbitan Daftar Efek Syariah”; Keputusan no: Kep-386/BL/2007
tanggal 30 November 2007 tentang “Daftar
Efek Syariah”. Tidak lama kemudian, Bapapem mengeluarkan Peraturan
no: Per-03/BL/2007 tanggal 10 Desember 2007 tentang “Kegiatan Perusahaan Pembiayaan
Berdasrkan Prinsip Syariah” dan Peraturan no: Per-04/BL/2007
tanggal 10 Desember 2007 tentang “Akad-Akad
yang Digunakan dalam Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah”
Adanya peraturan-peraturan baru yang berkaitan dengan dunia usaha
properti antara lain dengan diterbitkannya seri peraturan tentang “Dana Investasi Real Estat Berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif”(lihat rangkaian Keputusan Bapapem no.
423, 424, 425, dan 426, tahun 2007), belum menyentuh hal-hal yang mendukung
untuk dapat mengikutsertakan “prinsip syariah” secara jelas.
Bilamana sukuk di Timur Tengah dapat digunakan untuk mendanai
pembangunan Perluasan Bandar Udara Dubai, pembangunan Rumah Sakit di Bahrain
dan Qatar, sampai kepada pembangunan “Palm Island” di Dubai; dan di Malaysia
sukuk dapat digunakan untuk pengembangan energi, industri dan properti, maka di
Indonesia belum ada yang memanfaatkannya. Bilamana
ada, maka skala yang ditangani masih berjumlah relatif kecil. Sedangkan, di
beberapa negara, penggunaan sukuk untuk membiayai berbagai macam proyek yang
bisa menumbuhkan sektor riil telah berhasil dengan baik di negara-negara lain,
termasuk Jerman dan Amerika Serikat. Sebagai contoh saja, misalnya: seperti
yang dikutip oleh Abdel-Khaleq dan Richardson, sampai Mei 2006, lebih dari
US$4.1 milyar sukuk telah diterbitkan. Beberapa analis ekonomi memperkirakan
jumlah ini akan bertambah US$ 9 milyar lagi, hanya di negara-negara Teluk
sampai akhir tahun 2006.
Beberapa Sukuk diterbitkan pula oleh negara,
termasuk oleh negara Bahrain pada tahun 2001. Qatar Global sukuk di tahun 2003
memperoleh dana sebesar US$ 700 juta. Otoritas Penerbangan Sipil Dubai
memperoleh US$ 1.6 milyar.
Di Eropa, Pemerintah Provinsi Saxony Anhalt
di Jerman, memperoleh 100 juta Euro, baik dari investor Timur Tengah maupun
Eropa. Sukuk yang mempunyai masa 5 tahun ini didukung oleh sebuah asset
property di Negeri Belanda (Abdel-Khaleq dan Richardson; lihat juga Mahmoud A.
El-Gamal, Islamic Finance:
Law, Economics, and Practice 107, Cambridge, 2006).
Sukuk korporasi juga diterbitkan oleh
Perusahaan Minyak Raksasa Arab Saudi SABIC yang memperoleh US$ 800 juta; dan
perusahaan Energi Malaysia Jimah Energy Venture memperoleh US$ 1.27 milyar
dollar (Abdel-Khaleq dan Richardson; lihat juga Emilie Rutledge, Sukuk Has Entered English Lexicon and Is Here
to Stay, ARAA Gulf Views (July 29, 2006), available online at <http://www.gulfinthemedia.com).
Perusahaan minyak dan gas Amerika, Gulf of
Mexico, yang didukung oleh asset yang non-Syraih, memperoleh US$ 165.7 juta
untuk mengembangkan fasilitas produksinya (lihat juga Ivar Simensen, Capital Markets and Commodities: Axa
Chooses Hybrids, Fin Times UK 39 (June 16, 2006); see also Lane, Islamic Bond Market, Wall St
J C1. Sukuk terbesar mungkin diterbitkan oleh Dubai Port World di tahun 2006
yang menawarkan jumlah US$ 3,5milyar. Kemudian di tahun 2007, the Saudi Arabian
General Investment Authority SAGIA) mencanangkan pembangunan 6 kota, dengan
awal membangun Kota King Abdullah dengan invstasi awal US$ 30 milyar. SAGIA akan menerbitkan Sukuk untuk keperluan ini. (Joe Saddi, et al. Oasis Economies; lihat juga AME Info, Lagoon City US$ 125,000,000 Musharaka
Sukuk Road Show Commences in Kuwait (Nov 15, 2005), available
online at <http://www.ameinfo.com);
Liquidity Management Centre, Emirates
Islamic Bank and Liquidity Management Centre Lead Bukhatir Investments Limited
US$ 50 Million Sukuk Offering (May 14, 2006), available online at
<http://www.lmcbahrain.com).
Mengingat besarnya penduduk Muslim di Indonesia, maka tidak salah
bilamana “the work of Shariah
Bureau of Bank Indonesia demonstrates that Indonesia, especially in particular
parts of the country, has considerable “unmetdemand” for Islamic banking”
(Thomas A. Timberg, Islamic
Banking and Its Potential Impact, Risk Management: Islamic Finance
Policies, Nathan Associates, Inc) - dan mungkin juga “Islamic Capital Market
Indonesia”. Apalagi menimbang bahwa Indonesia adalah negara yang
termasuk anggota aktif dari Organisasi Konperensi Negara Islam dan juga ikut
berperan dalan Islamic Development Bank. Kesempatan untuk mengembangkan sukuk
dalam pasar modal Indonesia
tentunya cukup besar.
Pasar Modal Sukuk dan Pengembangan Ekonomi Sektor Riil melalui
Pasar Modal:
Melihat kepada kuatnya pengaruh ”likuiditas syariah” dan
keberhasilan yang dilakukan negara-negara lain dalam menjaring ”dana syariah”
ini, maka perlu kiranya kita berkaca diri serta melakukan sejumlah langkah dan
kegiatan untuk dapat dengan segera memulai mengembangkan ”Pasar Modal Syariah”
di Indonesia.
Bilamana kita perhatikan data tentang Produk
Domestik Bruto Indonesia tahun 2006,
1. Industri Pengolahan
Rp936.361,90
2. Perdagangan, Hotel dan
Restaurant Rp.496.336,20
3. Pertanian Rp430.499,90
4. Pertambangan,
PenggalianRp.354.626.90
5. Jasa-Jasa Rp.338.385,80
6.
Keuangan, Penyewaan dan Jasa Perusahaan
Rp.271.543,10
7. Bangunan Rp.249.127,80
8. Pengangkutan dan Komunikasi
Rp.230.921,60
9. Listrik, Gas, dan Air Bersih
Rp. 30.396,50
Total Rp. 3.338.195,70
(dalam milyar rupiah)
Terlihat bahwa sektor Industri Pengolahan dan Perdagangan, Hotel
dan Restoran mempunyai kontribusi terbesar dalam PDB 2006. Sedangkan, sektor
Listrik, Gas dan Air Bersih mengalami ”under
investment” karena hanya menyumbangkan sekitar Rp. 30 triliun yang
cuma kurang dari 1% dari PDB 2006. Di satu sisi, bilamana ingin mencari
pendanaan untuk sektor unggulan, maka sektor industri pengolahan serta
perdagangan, hotel dan restoran merupakan sektor yang tepat untuk diajukan.
Namun justru kita membutuhkan dana investasi di sektor-sektor yang tertinggal,
seperti bangunan, pengangkutan dan komunikasi, serta listrik, gas dan air
bersih.
Bilamana diperlukan investasi yang padat karya, guna mengurangi
tingkat pengangguran, maka sektor-sektor seperti pertanian, perdagangan, hotel
& restoran, serta bangunan, dapat dikemukakan untuk mendapatkan pendanaan.
Proyek-proyek yang didukung oleh pemerintah seperti Program 1000
Menara Rumah Rakyat, Program 10,000 megawatt Pembangkit Tenaga Listrik, Program
Infrastuktur termasuk program jalan toll, program Air Bersih, dan
program-program dasar lain dapat memanfaatkan sukuk melalui Pasar Modal
Indonesia.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Bank Syariah Indonesia, M Riawan Amin, Bank
Pembangunan Islam menyediakan dana sebesar US$ 10 milyar untuk program-program
yang berkaitan dengan penghapusan kemiskinan. Alwi Shihab, Utusan RI khusus
untuk Timur Tengah juga menyatakan bahwa di tahun 2008 ini, Indopacific dari
Yaman berminat menambah investasi sampai dengan US$ 100 juta untuk pengembangan
CPO. Investor-investor Timur Tengah berencana untuk menginvestasikan dana
hingga US$ 5 milyar di Indonesia
di tahun 2008 ini. Investasi tersebut sebagian besar bergerak di
sektor riil, infrastruktur, sumber daya alam dan properti(Detik Finance, 3
Maret 2008).
Akan tetapi, realisasi dari rencana investasi
ini belum dapat dipastikan, oleh karena ”kelambanan” pemerintah dalam
menerbitkan rangkaian peraturan dan perundangan yang berkaitan dengan prinsip
syariah dan sukuk. RUU Surat Berharga Syariah Negara sampai sekarang masih
belum selesai digarap, walaupun adanya RUU ini telah didengungkan sejak tahun
2006. Dua RUU yaitu tentang ”Perbankan
Syariah” dan ”Sukuk/Obligasi
Syariah” masih belum dibahas DPR sampai saat ini. Rencana
pemerintah di tahun 2006 untuk mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-Undang
(PERPU) tentang Sukuk atau Obligasi Syariah belum ada kelanjutannya.
Sebelum diterbitkannya peraturan dan
perundangan yang secara jelas gamblang menjamin secara sah keberadaan dan
keabsahan dapat diberlakukannya prinsip-prinsip syariah dalam dunia keuangan
dan pasar modal Indonesia, maka perkembangan keuangan syariah di Indonesia
tidak akan bisa optimal, walaupun potensi untuk itu amatlah besar.
Prinsip Syariah, pada dasarnya melarang 3 hal
yaitu riba atau
menetapkan bunga, gharar ataurisiko
yang bersifat spekulatif dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang mudharat atau membawa akibat
pada dosa seperti misalnya pembuatan dan distribusi produk yang beralkohol,
menggunakan tembakau, mengandung babi, dan senjata, perjudian, pornografi,
hiburan erotik.
Sedangkan, sukuk pada dasarnya dapat diartikan sebagai:”are asset-backed, stable income,
tradable, and syariah compatible trust certificate. The primary issuance of
sukuk is the existence of assets on the balance sheet of government, the
monetary authority, the corporate body, the banking and financial institutions
or any entity which wants to mobilize the financial resources”.
(Salma & Hassan). Asset-asset ini dijadikan agunan hanya terbatas pada hak
pemanfaatan (beneficiary title) dan tidak perlu perpindahan kepemilikan.
Jenis-jenis Sukuk antara lain Ijarah Sukuk Murni, Sukuk Campuran,
(Hybrid/Pooled Sukuk), Variable Rate Redeemable Sukuk, Zero-coupon non-tradable
Sukuk, Embedded Sukuk, dan lain-lain (lihat Salma & Hassan). Sedangkan
proses pengurusan Sukuk ini dapat dilakukan melalui instrumen-instrumen
keuangan seperti antara lain: Ijara
(Leasing), Murabaha
(Cost plus Financing), Istishna
(Puchase with Specification or Construction/Engineering and Procurement
Contract), Bai Al Salam
(Purchase with Deferred Delivery), Mudharabah
(Pofit Sharing), Musyakarah
(Partnership/Participation Financing), Wakala
(investment agency) agency)dan lain-lain (Abdel-Khaleq &
Richardson; Maulana Taqi Usmani, Principles
of Shari’ah Governing Islamic Funds”, Accountancy on-line
Publication;dan appendix: Islamic
Lending and Borrowing Instruments in Indonesia, Bank Muamalat).
Dengan semakin berkembangnya model-model sukuk, maka kemungkinan
untuk dapat mengembangkan sukuk di Indonesia juga semakin besar. Namun
semua ini juga tergantung kepada kemauan dan sikap politik ekonomi pimpinan
negara untuk menjalankannya. Apalagi dengan mengingat bahwa program sukuk ini
akan lebih “afdol” bilamana di dukung oleh asset yang dijamin oleh oleh
negara/pemerintah.
Bila dalam awal perkembangan Sukuk di Timur Tengah dan Malaysia
diawali dengan penerbitan Sukuk dari perusahaan-perusahaan milik pemerintah,
maka Indonesia juga dapat mendorong BUMN yang bergerak dalam sektor riil untuk
menerbitkan Sukuk di Bursa Efek Indonesia.
Namun demikian, sebelum dapat menerbitkan Sukuk ini, harus pula
diperhatikan ketatnya persyaratan dalam ekonomi syariah, antara lain, saat ini
Sukuk masih terbatas pada pembiayaan perdagangan atau produksi dan asset yang
tangible dan yang langsung berkaitan dengan sektor riil. Di samping itu,
investor Sukuk berhak sepenuhnya untuk mendapatkan semua informasi berkenaan
dengan penggunaan dana Sukuk yang bersangkutan, assets yang menjadi dasar
penerbitan Sukuk, dan hal-hal lain khususnya yang berkenaan dengan pembedaan
yang jelas dengan investasi konvensional. Sebetulnya, hal ini tidaklah sulit
untuk ditaati, oleh karena persyaratan ini juga mendorong penerbit Sukuk untuk
lebih disiplin dan transparan dalam mengelola keuangannya.
Sebagai tambahan, perlu pula dipikirkan pendidikan tenaga-tenaga
ahli dalam bidang ekonomi syariah dan Sukuk ini. Menurut catatan dari Security
Commission Malaysia, di negeri itu telah terdaftar 27 orang yang menyandang
sertifikat untuk mengelola Syariah Trust Funds, 4 orang dan 3 perusahaan yang
menyandang sertifikat mengelola Sukuk.
Sertifikasi ini antara lain berstandarkan pada Islamic Finance
Qualification (IFQ), dan telah dapat diperoleh di beberapa negara, seperti Inggris, Lebanon,
Bahrain, Dubai,
dan Malaysia.
Harianto Solihin, Presiden
Direktur – Nikko Securities Indonesia
11 April 2008