Kamis, 21 Februari 2013

FATWA TENTANG PASAR MODAL DAN PEDOMAN UMUM PENERAPAN PRINSIP SYARIAH DI BIDANG PASAR MODAL


Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal

Oleh
09 April 2008

FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 40/DSN-MUI/X/2003
Tentang PASAR MODAL DAN PEDOMAN UMUM
PENERAPAN PRINSIP SYARIAH DI BIDANG PASAR MODAL

Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG PASAR MODAL DAN PEDOMAN UMUM PENERAPAN PRINSIP SYARIAH DI BIDANG PASAR MODAL

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1


Dalam Fatwa ini yang dimaksud dengan :

  1. Pasar Modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan Penawaran Umum dan perdagangan Efek, Perusahaan Publik yang berkaitan dengan Efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan Efek.
  2. Emiten adalah Pihak yang melakukan Penawaran Umum.
  3. Efek Syariah adalah efek sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal yang akad, pengelolaan perusahaan, maupun cara penerbitannya memenuhi Prinsip-prinsip Syariah.
  4. Shariah Compliance Officer (SCO) adalah Pihak atau pejabat dari suatu perusahaan atau lembaga yang telah mendapat sertifikasi dari DSN-MUI dalam pemahaman mengenai Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal.
  5. Pernyataan Kesesuaian Syariah adalah pernyataan tertulis yang dikeluarkan oleh DSN-MUI terhadap suatu Efek Syariah bahwa Efek tersebut sudah sesuai dengan Prinsip-prinsip Syariah.
  6. Prinsip-prinsip Syariah adalah prinsip-prinsip yang didasarkan atas ajaran Islam yang penetapannya dilakukan oleh DSN-MUI, baik ditetapkan dalam fatwa ini maupun dalam fatwa terkait lainnya.

BAB II
PRINSIP-PRINSIP SYARIAH DI BIDANG PASAR MODAL
Pasal 2
Pasar Modal

  1. Pasar Modal beserta seluruh mekanisme kegiatannya terutama mengenai emiten, jenis Efek yang diperdagangkan dan mekanisme perdagangannya dipandang telah sesuai dengan Syariah apabila telah memenuhi Prinsip-prinsip Syariah.
  2. Suatu Efek dipandang telah memenuhi prinsip-prinsip syariah apabila telah memperoleh Pernyataan Kesesuaian Syariah.

BAB III
EMITEN YANG MENERBITKAN EFEK SYARIAH
Pasal 3
Kriteria Emiten atau Perusahaan Publik

  1. Jenis usaha, produk barang, jasa yang diberikan dan akad serta cara pengelolaan perusahaan Emiten atau Perusahaan Publik yang menerbitkan Efek Syariah tidak boleh bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah.
  2. Jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 1 di atas, antara lain:

    1. perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang;
    2. lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi konvensional;
    3. produsen, distributor, serta pedagang makanan dan minuman yang haram; dan
    4. produsen, distributor, dan/atau penyedia barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat.
    5. melakukan investasi pada Emiten (perusahaan) yang pada saat transaksi tingkat (nisbah) hutang perusahaan kepada lembaga keuangan ribawi lebih dominan dari modalnya;
  3. Emiten atau Perusahaan Publik yang bermaksud menerbitkan Efek Syariah wajib untuk menandatangani dan memenuhi ketentuan akad yang sesuai dengan syariah atas Efek Syariah yang dikeluarkan.
  4. Emiten atau Perusahaan Publik yang menerbitkan Efek Syariah wajib menjamin bahwa kegiatan usahanya memenuhi Prinsip-prinsip Syariah dan memiliki Shariah Compliance Officer.
  5. Dalam hal Emiten atau Perusahaan Publik yang menerbitkan Efek Syariah sewaktu-waktu tidak memenuhi persyaratan tersebut di atas, maka Efek yang diterbitkan dengan sendirinya sudah bukan sebagai Efek Syariah.

BAB IV
KRITERIA DAN JENIS EFEK SYARIAH
Pasal 4
Jenis Efek Syariah

  1. Efek Syariah mencakup Saham Syariah, Obligasi Syariah, Reksa Dana Syariah, Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK EBA) Syariah, dan surat berharga lainnya yang sesuai dengan Prinsip-prinsip Syariah.
  2. Saham Syariah adalah bukti kepemilikan atas suatu perusahaan yang memenuhi kriteria sebagaimana tercantum dalam pasal 3, dan tidak termasuk saham yang memiliki hak-hak istimewa.
  3. Obligasi Syariah adalah surat berharga jangka panjang berdasarkan Prinsip Syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syariah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang Obligasi Syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
  4. Reksa Dana Syariah adalah Reksa Dana yang beroperasi menurut ketentuan dan prinsip Syariah Islam, baik dalam bentuk akad antara pemodal sebagai pemilik harta (shahib al-mal/rabb al-mal) dengan Manajer Investasi, begitu pula pengelolaan dana investasi sebagai wakil shahib al-mal, maupun antara Manajer Investasi sebagai wakil shahib al-mal dengan pengguna investasi.
  5. Efek Beragun Aset Syariah adalah Efek yang diterbitkan oleh kontrak investasi kolektif EBA Syariah yang portofolio-nya terdiri dari aset keuangan berupa tagihan yang timbul dari surat berharga komersial, tagihan yang timbul di kemudian hari, jual beli pemilikan aset fisik oleh lembaga keuangan, Efek bersifat investasi yang dijamin oleh pemerintah, sarana peningkatan investasi/arus kas serta aset keuangan setara, yang sesuai dengan Prinsip-prinsip Syariah.
  6. Surat berharga komersial Syariah adalah surat pengakuan atas suatu pembiayaan dalam jangka waktu tertentu yang sesuai dengan Prinsip-prinsip syariah.

BAB V
TRANSAKSI EFEK
Pasal 5
Transaksi yang Dilarang

  1. Pelaksanaan transaksi harus dilakukan menurut prinsip kehati-hatian serta tidak diperbolehkan melakukan spekulasi dan manipulasi yang di dalamnya mengandung unsur dharar, gharar, riba, maisir, risywah, maksiat dan kezhaliman.
  2. Transaksi yang mengandung unsur dharar, gharar, riba, maisir, risywah, maksiat dan kezhaliman sebagaimana dimaksud ayat 1 di atas meliputi:

    1. Najsy, yaitu melakukan penawaran palsu;
    2. Bai’ al-ma’dum, yaitu melakukan penjualan atas barang (Efek Syariah) yang belum dimiliki (short selling);
    3. Insider trading, yaitu memakai informasi orang dalam untuk memperoleh keuntungan atas transaksi yang dilarang;
    4. Menimbulkan informasi yang menyesatkan;
    5. Margin trading, yaitu melakukan transaksi atas Efek Syariah dengan fasilitas pinjaman berbasis bunga atas kewajiban penyelesaian pembelian Efek Syariah tersebut; dan
    6. Ihtikar (penimbunan), yaitu melakukan pembelian atau dan pengumpulan suatu Efek Syariah untuk menyebabkan perubahan harga Efek Syariah, dengan tujuan mempengaruhi Pihak lain;
    7. Dan transaksi-transaksi lain yang mengandung unsur-unsur diatas.

 

Pasal 6
Harga Pasar Wajar

Harga pasar dari Efek Syariah harus mencerminkan nilai valuasi kondisi yang sesungguhnya dari aset yang menjadi dasar penerbitan Efek tersebut dan/atau sesuai dengan mekanisme pasar yang teratur, wajar dan efisien serta tidak direkayasa.

 

BAB VI
PELAPORAN DAN KETERBUKAAN INFORMASI
Pasal 7

Dalam hal DSN-MUI memandang perlu untuk mendapatkan informasi, maka DSN-MUI berhak memperoleh informasi dari Bapepam dan Pihak lain dalam rangka penerapan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal.

 

BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 8

  1. Prinsip-prinsip Syariah mengenai Pasar Modal dan seluruh mekanisme kegiatan terkait di dalamnya yang belum diatur dalam fatwa ini akan ditetapkan lebih lanjut dalam fatwa atau keputusan DSN-MUI.
  2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 08 Sya’ban 1424 H / 04 Oktober 2003 M

Obligasi Syariah Ijarah


Obligasi Syariah Ijarah

Oleh 09 April 2008

FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 41/DSN-MUI/III/2004
Tentang OBLIGASI SYARIAH IJARAH

Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG OBLIGASI SYARIAH IJARAH

Pertama : Ketentuan Umum

  1. Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan oleh Emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/marjin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
  2. Obligasi Syariah Ijarah adalah Obligasi Syariah berdasarkan akad Ijarah dengan memperhatikan substansi Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No. 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah.
  3. Pemegang Obligasi Syariah Ijarah (OSI) dapat bertindak sebagai Musta’jir (penyewa) dan dapat pula bertindak sebagai Mu’jir (pemberi sewa).
  4. Emiten dalam kedudukannya sebagai wakil Pemegang OSI dapat menyewa ataupun menyewakan kepada pihak lain dan dapat pula bertindak sebagai penyewa.


Kedua : Ketentuan Khusus

  1. Akad yang digunakan dalam Obligasi Syariah Ijarah adalah Ijarah dengan memperhatikan substansi Fatwa DSN-MUI nomor 9/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah, terutama mengenai rukun dan syarat akad.
  2. Obyek Ijarah harus berupa manfaat yang dibolehkan.
  3. Jenis usaha yang dilakukan Emiten tidak boleh bertentangan dengan syariah dengan memperhatikan substansi Fatwa DSN-MUI nomor 20/DSN-MUI/IX/2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksadana Syariah dan nomor 40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal.
  4. Emiten dalam kedudukannya sebagai penerbit obligasi dapat mengeluarkan OSI baik untuk asset yang telah ada maupun asset yang akan diadakan untuk disewakan.
  5. Pemegang OSI sebagai pemilik aset (a’yan) atau manfaat (manafi’) dalam menyewakan (ijarah) asset atau manfaat yang menjadi haknya kepada pihak lain dilakukan melalui Emiten sebagai wakil.
  6. Emiten yang bertindak sebagai wakil dari Pemegang OSI dapat menyewa untuk dirinya sendiri atau menyewakan kepada pihak lain.
  7. Dalam hal Emiten bertindak sebagai penyewa untuk dirinya sendiri, maka Emiten wajib membayar sewa dalam jumlah dan waktu yang disepakati sebagai imbalan (‘iwadh ma’lum) sebagaimana jika penyewaan dilakukan kepada pihak lain.
  8. Pengawasan aspek syariah dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah atau Tim Ahli Syariah yang ditunjuk oleh Dewan Syariah Nasional MUI, sejak proses emisi Obligasi Syariah Ijarah dimulai.
  9. Kepemilikan Obligasi Syariah Ijarah dapat dialihkan kepada pihak lain, selama disepakati dalam akad.


Ketiga : Penyelesaian Perselisihan
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiaannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.


Keempat : Ketentuan Penutup
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 4 Maret 2004 M / 12 Muharram 1425 H

 

 

Obligasi Syariah Mudharabah Konversi


Obligasi Syariah Mudharabah Konversi

Oleh 09 April 2008

FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 59/DSN-MUI/V/2007
Tentang OBLIGASI SYARIAH MUDHARABAH KONVERSI

Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG OBLIGASI SYARIAH MUDHARABAH KONVERSI (CONVERTIBLE MUDARABA BONDS)

Pertama : Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan:

  1. Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan oleh Emiten kepada investor (pemegang obligasi) yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada investor berupa bagi hasil/marjin/fee serta membayar kembali dana investasi pada saat jatuh tempo.
  2. Obligasi Syariah Mudharabah Konversi (Convertible Mudaraba Bond) adalah obligasi syariah yang diterbitkan oleh Emiten berdasarkan prinsip Mudharabah dalam rangka menambah kebutuhan modal kerja, dengan opsi investor dapat mengkonversi obligasi menjadi saham Emiten pada saat jatuh tempo (maturity).
  3. Saham Syariah adalah sertifikat yang menunjukkan bukti kepemilikan suatu perusahaan yang diterbitkan oleh Emiten yang kegiatan usaha maupun cara pengelolaannya tidak bertentangan dengan prinsip syariah.


Kedua : Ketentuan Akad

  1. Akad yang digunakan dalam Obligasi Syariah Mudharabah Konversi adalah akad mudharabah dengan memperhatikan substansi Fatwa DSN-MUI Nomor 7/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah, Fatwa DSN-MUI Nomor 32/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah, Fatwa DSN-MUI Nomor 33/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah Mudharabah.
  2. Emiten dalam Obligasi Syariah Mudharabah Konversi bertindak sebagai Mudharib, sedangkan Pemegang Obligasi Syariah Mudharabah Konversi bertindak sebagai Shahibul Mal. Dalam hal pemegang obligasi syariah konversi menggunakan haknya untuk mengonversi obligasi tersebut menjadi saham emiten, akad yang digunakan adalah akad Musyarakah, dimana Pemegang Obligasi Syariah Mudharabah Konversi bertindak sebagai pemegang saham (Hamil al-sahm).


Ketiga : Ketentuan Khusus

  1. Jenis usaha yang dilakukan Emiten tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah dengan memperhatikan substansi Fatwa DSN-MUI Nomor 20/DSN-MUI/IX/2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksadana Syariah dan Nomor 40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal.
  2. Pendapatan (hasil) investasi yang dibagikan oleh Emiten (Mudharib) kepada Pemegang Obligasi Syariah Mudharabah Konversi (Shahibul Mal) harus bersih dari unsur non-halal.
  3. Nisbah keuntungan dalam Obligasi Syariah Mudharabah Konversi antara Emiten (Mudharib) dengan Pemegang Obligasi Syariah Mudharabah Konversi (Shahibul Mal) ditentukan sesuai dengan kesepakatan, sebelum emisi (penerbitan) Obligasi Syariah Mudharabah Konversi.
  4. Pembagian pendapatan (hasil) dapat dilakukan secara periodik sesuai kesepakatan, dengan ketentuan pada saat jatuh tempo diperhitungkan secara keseluruhan.
  5. Pengawasan aspek syariah dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah atau Tim Ahli Syariah yang ditunjuk oleh Dewan Syariah Nasional MUI, sejak proses emisi Obligasi Syariah Mudharabah Konversi dimulai.
  6. Kepemilikan Obligasi Syariah Mudharabah Konversi dapat dialihkan kepada pihak lain selama disepakati dalam akad.
  7. Dalam hal investor melaksanakan opsi untuk mengonversi obligasi menjadi saham emiten, penentuan harga dilakukan pada saat jatuh tempo (maturity) dan sesuai dengan harga pasar saham saat itu atau harga yang disepakati.


Keempat : Ketentuan Penutup

  1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah atau Pengadilan Agama setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
  2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 13 Jumadil Awal 1428 H / 30 Mei 2007 M

 

Obligasi Syariah Mudharabah


Obligasi Syariah Mudharabah

Oleh 09 April 2008

FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 33/DSN-MUI/IX/2002
Tentang OBLIGASI SYARI’AH MUDHARABAH

Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG OBLIGASI SYARI’AH MUDHARABAH

Pertama : Ketentuan Umum:

  1. Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syariah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang Obligasi Syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
  2. Obligasi Syariah Mudharabah adalah Obligasi Syariah yang berdasarkan akad Mudharabah dengan memperhatikan substansi Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No. 7/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudha-rabah.
  3. Emiten dalam Obligasi Syariah Mudharabah adalah Mudharib sedangkan pemegang Obligasi Syariah Mudharabah adalah Shahibul Mal.


Kedua : Ketentuan Khusus

  1. Akad yang digunakan dalam Obligasi Syariah Mudharabah adalah akad Mudharabah;
  2. Jenis usaha yang dilakukan Emiten (Mudharib) tidak boleh bertentangan dengan syariah dengan memperhatikan substansi Fatwa DSN-MUI Nomor 20/DSN-MUI/IV/2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksa Dana Syariah;
  3. Pendapatan (hasil) investasi yang dibagikan Emiten (Mudharib) kepada pemegang Obligasi Syariah Mudha-rabah (Shahibul Mal) harus bersih dari unsur non halal;
  4. Nisbah keuntungan dalam Obligasi Syariah Mudharabah ditentukan sesuai kesepakatan, sebelum emisi (penerbitan) Obligasi Syariah Mudharabah;
  5. Pembagian pendapatan (hasil) dapat dilakukan secara periodik sesuai kesepakatan, dengan ketentuan pada saat jatuh tempo diperhitungkan secara keseluruhan;
  6. Pengawasan aspek syariah dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah atau Tim Ahli Syariah yang ditunjuk oleh Dewan Syariah Nasional MUI, sejak proses emisi Obligasi Syariah Mudharabah dimulai;
  7. Apabila Emiten (Mudharib) lalai dan/atau melanggar syarat perjanjian dan/atau melampaui batas, Mudharib berkewajiban menjamin pengembalian dana Mudharabah, dan Shahibul Mal dapat meminta Mudharib untuk membuat surat pengakuan hutang;
  8. Apabila Emiten (Mudharib) diketahui lalai dan/atau melanggar syarat perjanjian dan/atau melampaui batas kepada pihak lain, pemegang Obligasi Syariah Mudharabah (Shahibul Mal) dapat menarik dana Obligasi Syariah Mudharabah;
  9. Kepemilikan Obligasi Syariah Mudharabah dapat dialihkan kepada pihak lain, selama disepakati dalam akad.


Ketiga : Penyelesaian Perselisihan

Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.


Keempat : Ketentuan Penutup

Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 06 Rajab 1423 H / 14 September 2002 M

 

Obligasi Syariah


Obligasi Syariah

Oleh 09 April 2008

FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 32/DSN-MUI/IX/2002
Tentang OBLIGASI SYARI’AH

Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG OBLIGASI SYARI’AH

Pertama : Ketentuan Umum:

  1. Obligasi yang tidak dibenarkan menurut syariah yaitu obligasi yang bersifat hutang dengan kewajiban membayar berdasarkan bunga;
  2. Obligasi yang dibenarkan menurut syariah yaitu obligasi yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah;
  3. Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syariah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang Obligasi Syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.


Kedua : Ketentuan Khusus

  1. Akad yang dapat digunakan dalam penerbitan obligasi syariah antara lain:
    1. Mudharabah (Muqaradhah)/ Qiradh
    2. Musyarakah
    3. Murabahah
    4. Salam
    5. Istishna
    6. Ijarah;
  2. Jenis usaha yang dilakukan Emiten (Mudharib) tidak boleh bertentangan dengan syariah dengan memper-hatikan substansi Fatwa DSN-MUI Nomor 20/DSN-MUI/IV/2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksa Dana Syariah;
  3. Pendapatan (hasil) investasi yang dibagikan Emiten (Mudharib) kepada pemegang Obligasi Syariah Mudha-rabah (Shahibul Mal) harus bersih dari unsur non halal;
  4. Pendapatan (hasil) yang diperoleh pemegang Obligasi Syariah sesuai akad yang digunakan;
  5. Pemindahan kepemilikan obligasi syariah mengikuti akad-akad yang digunakan.


Ketiga : Penyelesaian Perselisihan

Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.


Keempat : Penutup

Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.


Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 06 Rajab 1423 H / 14 September 2002 M

 

Jumat, 25 Januari 2013

GEJOLAK PASAR KEUANGAN GLOBAL DAN PELUANG PEMBIAYAAN DAN INVESTASI SYARIAH DI PASAR MODAL


Dua tahun terakhir ini pergerakan harga-harga Efek di pasar keuangan global, baik bersifat ekuitas, surat hutang, maupun instrumen derivatifnya banyak dipengaruhi oleh gejolak di pasar keuangan AS yang dipicu oleh krisis subprime mortgage. Subprime mortgage sendiri merupakan kredit pemilikan perumahan (KPR) yang beresiko tinggi - karena tidak disertai dengan rasio kolateral  yang cukup dan kelayakan kredibilitas debiturnya - yang diberikan oleh bank dengan jaminan dokumen kepemilikan atas rumah tersebut atau dihipotikan.

Masyarakat AS memang dikenal gemar berhutang, mulai dari pembiayaan untuk pemilikan rumah, pengeluaran rumah tangga, maupun pengeluaran konsumtif lainnya seperti pembelanjaan menggunakan kartu kredit. Belanja konsumen merupakan bagian terbesar yang menopang perekonomian AS dengan PDB sekitar US$ 14 triliun. Setali tiga uang dengan pemerintah AS yang juga gemar belanja untuk membiayai perangnya melawan terorisme dan anggaran belanja negara rutin lainnya yang juga maha besar, sementara setiap tahun neraca transaksi berjalannya selalu defisit ratusan miliar US$ dan dengan kecenderungan peningkatan defisit pada tahun-tahun berikutnya. Berdasarkan data dari Reuters yang dikutip oleh Kompas (20/10), untuk tahun 2007, neraca transaksi berjalan AS defisit sekitar US$ 731,8 miliar.

Ketika terjadi perlambatan kegiatan ekonomi yang mengarah ke jurang resesi di negara adi daya tersebut, banyak warga AS yang kehilangan pekerjaan atau setidaknya terjadi penurunan atas pendapatan bulanannya sehingga tidak mampu membayar cicilan kredit perumahan yang diambilnya. Karena memang sebagian besar debitur dari kredit subprime tersebut tidak memiliki kelayakan bayar, maka terjadilah kemacetan massal kredit di sektor perumahan AS sejak pertengahan tahun lalu, yang menyebabkan kolapsnya perusahaan-perusahaan keuangan pemberi KPR, diantaranya yang terbesar adalah Fannie Mae dan Freddie Mac. Kedua perusahaan tersebut berdasarkan data dari Bloomberg mengelola hampir setengah dari pinjaman perumahan di AS senilai US$ 12 triliun sehingga harus diambil alih oleh Depkeu AS.

Resesi ekonomi AS - bila terjadi dan menurut sebagian ekonom di kalangan universitas ternama AS bahkan sudah terjadi saat ini - diantaranya akibat biaya tinggi produksi barang-barang konsumsi dan industri karena lonjakan harga minyak mentah, komoditas (hard dan soft comodities), daya beli yang menurun, serta tidak berjalannya kegiatan investasi produktif di sektor riil karena kurang berjalannya fungsi intermediasi perbankan AS (yang mungkin sudah sakit sejak lama..?). Pelaku pasar keuangan di AS dan sekutunya di Eropa lebih suka mencari rente ekonomi dalam investasi portofolio derivatif dan spekulatif, yang merupakan bentuk kapitalisme modern yang dibangun dengan “monetary based economy” dan bukan “real based economy”.

Cerita belum berakhir disini karena rentetan gejolak kemudian terjadi di pasar uang, pasar modal, pasar obligasi dan pasar derivatif di AS akibat dipicu oleh krisis kredit perumahan subprime mortgage tersebut.

Subprime mortgage yang menjadi aset perusahaan pemberi KPR macam Fannie Mae dan Freddie Mac berupa hak tagih dan jaminan atas kredit yang diberikan kepada debitur kemudian digadaikan lagi kepada perbankan investasi ternama seperti Lehman Brothers dan Goldman Sachs Group Inc serta perbankan investasi lainnya, yang kemudian mengemasnya dalam bentuk Collaterized Debt Obligations (CDOs), yaitu Efek hutang derivatif yang merupakan hasil sekuritisasi berbasis agunan kredit subprime tersebut. Efek hutang tersebut bahkan diperingkat dengan kategori layak investasi (investment grade) oleh perusahaan pemeringkat Efek ternama macam Standard & Poors, yang kemudian dijual lagi ke nasabah lembaga keuangan lainnya, korporasi dan individu di AS, Eropa, dan Asia, melalui penjualan langsung atau dengan sistem keagenan.

Semakin tingginya kredit macet di sektor perumahan AS menyebabkan jatuhnya nilai pasar CDOs tersebut. Akibatnya, harga pasar saham, obligasi, dan surat hutang lainnya yang diterbitkan oleh bank-bank investasi ternama AS tersebut ikut terjungkal dan diperdagangkan dengan harga super diskon. Emisi sekuritas kredit yang baru pun menjadi tidak laku sehingga bank-bank investasi tersebut kesulitan likuiditas sehingga mengalami kebangkrutan, salah satunya Lehman Brothers, bank investasi yang sudah berumur satu setengah abad dan salah satu pendiri bursa Wall Street. Bank-bank investasi terkemuka lainnya yang memiliki exposure besar di Efek derivatif tersebut ikutan goyah, seperti JP Morgan Chase & Co, Merrill Lynch, dan Citigroup Inc.

Kondisi ini kemudian menimbulkan kepanikan para pemodal saham, pemegang obligasi, pembeli sekuritas CDOs dan Efek derivatif lainnya, bahkan merembet juga ke para deposan bank-bank komersial di AS. Maka terjadilah kekacauan (turmoil) di pasar keuangan di AS. Bursa Wall Street jatuh dalam ke level terendahnya dalam 5 (lima) tahun terakhir, penurunan tajam nilai pasar surat hutang dan Efek derivatif lain, serta terjadinya rush terhadap perbankan AS. Berdasarkan data dari Federal Deposit Insurance Corp (FDIC) yang dikutip oleh Bloomberg, setidaknya 15 bank mengalami kebangkrutann sepanjang tahun 2008 dan yang terbesar adalah Washington Mutual Bank (Wamu Bank) dengan nilai aset sekitar US$ 307 miliar.

Kekacauan pasar keuangan AS tersebut kemudian menimbulkan sentimen negatif di perbankan dan pasar keuangan global sehingga terjadi kejatuhan bursa saham utama di seluruh kawasan, termasuk pasar modal Indonesia, dimana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tanggal 8 Oktober (saat perdagangan saham di BEI dihentikan untuk sementara) telah turun hampir 50% bila dibandingkan dengan harga pada awal tahun (year to date). Kejatuhan IHSG selain dipicu oleh sentimen negatif krisis pasar keuangan global juga dipengaruhi oleh melemahnya harga saham-saham perusahaan yang berbasis penjualan dari sektor komoditas energi (crude oil dan batubara), logam (nikel dan timah) dan pangan (CPO dan karet), yang selama ini merupakan penyumbang terbesar pergerakan IHSG. Harga berbagai komoditas tersebut turun tajam antara 50 – 70% dari level harga tertingginya dalam dua tahun terakhir.  

Pasar keuangan global semakin panik dengan semakin meluasnya kemacetan kredit sektor perumahan ke negara-negara G-7 lainnya, salah satunya Inggris. Beberapa perusahaan keuangan pemberi kredit perumahan di negara tersebut kolaps bila tidak dibailout dan atau diambil alih pemerintah, seperti yang terjadi terhadap Royal Bank of Scotland Group Plc (RBS), Bradford & Bingley dan Northern Rock Plc. Kepanikan juga terjadi terhadap para deposan bank di hampir seluruh kawasan Eropa sehingga pemerintah setempat mengambil kebijakan untuk menjamin seluruh simpanan masyarakat dan pinjaman antar bank untuk membantu kelangkaan likuiditas yang terjadi.

Di Indonesia, selain terjungkalnya IHSG, kelangkaan likuiditas yang terjadi di perbankan dan pasar uang dalam negeri menyebabkan bank-bank berlomba menarik deposan dengan imbalan bunga di atas 10% untuk jangka waktu penempatan 1 bulan. Untuk nilai nominal dan jangka waktu penempatan tertentu bahkan dapat mendapatkan bunga jauh lebih tinggi. Perang tarif bunga yang terjadi menyebabkan terkoreksinya harga Surat Utang Negara dan obligasi pemerintah lainnya, terlebih setelah salah satu perusahaan sekuritas asing merekomendasikan nasabahnya untuk menjauhi surat utang Indonesia. Saat ini imbal hasil Surat Utang Negara berjangka menengah panjang dapat mencapai 15 – 16%.

Rapuhnya Sistem Keuangan Konvensional

Rapuhnya sistem keuangan konvensional yang dimotivasi oleh tujuan spekulasi dan permainan manipulasi sehingga didalamnya mengandung unsur ketidakhati-hatian (dharar), ketidakpastian dan resiko tinggi (gharar), riba, suap (risywah) maysir, dan kezholiman, telah diingatkan oleh banyak ekonom dan ahli keuangan lainnya di awal tahun 2000–an,  berikut adalah beberapa diantaranya :

David M Walker, Comptroller General pemerintah AS, mengingatkan betapa bahayanya situasi ekonomi negara AS. Posisi keuangan pemerintah Federal tahun 2004 hanya memiliki aset sekitar US$ 1 triliun sementara hutangnya US$ 8 triliun. Angka ini bila dimasukkan juga kewajiban kontinjensi Medicare dan Pension Plan maka utang pemerintah Federal AS menjadi sekitar US$ 37 triliun sehingga anak-anak yang baru lahir di Amerika sudah langsung memiliki utang US$ 100.000 per kepala.

Morgan Stanley menyebutkan bahwa pada tahun 2001 dan 2002 jumlah obligasi yang default di AS sekitar US$ 170 miliar. Jumlah ini lebih besar dari jumlah obligasi yang default selama 20 tahun sebelumnya secara kumulatif. Yang paling mengkhawatirkan lagi adalah emisi kredit derivatif yang pada Desember tahun 2002 saja ditaksir sekitar US$ 2.500 miliar atau kenaikan hingga 48 kali lipat dibandingkan angka pada Desember 1998 yang berkisar US$ 50 miliar. Transaksi derivatif ini hanya transaksi spekulasi dan akal-akalan yang dilakukan para investment bankers dan hedge fund managers. Warren Buffet dan juga Rubin, mantan Secretary of Treasury AS mengkhawatirkan transaksi ini karena dapat meruntuhkan sistem keuangan global (Harahap, 2004).

Skandal akuntansi dan sistem keuangan konvensional sering terjadi pada korporasi di AS, seperti kasus Enron Corporation pada tahun 2002. Sebagian diantaranya bahkan melakukan penggelembungan modal  dengan metode akuntansi yang dianggap tidak bertentangan dengan peraturan yang ada. Morgan Stanley, yang disewa Departemen Keuangan AS untuk menyelidiki perusahaan keuangan di AS menyimpulkan indikasi tersebut dilakukan juga oleh Fannie Mae dan Freddie Mac.

Bazerman (2002), menyebutkan bahwa skandal besar dalam korporasi yang mempengaruhi industri keuangan dan pasar modal tidak terlepas dari tindakan korupsi dan kriminalitas dari akuntan yang tidak memiliki etika dengan memalsukan angka dan melakukan penyelewengan untuk kepentingan pribadi dan kliennya. Hal ini tidak terlepas dari filsafat dan sifat subjektif dari akuntansi itu sendiri serta hubungan yang sangat erat antara akuntan publik dan kliennya.

Dalam dua dekade ini perkembangan ekonomi yang sangat mencolok adalah perkembangan sistem keuangan dunia. Perkembangan baik kualitas maupun kuantitas transaksi di sektor moneter ini berakibat ketidakseimbangan antara pasar uang dan pasar barang. Pertumbuhan di pasar uang, pasar modal, pasar surat hutang dan pasar derivatif berkembang sangat cepat, hingga pertumbuhannya jauh melebihi pertumbuhan perdagangan di sektor riil.

Dalam suatu seminar mengenai peluang dinar emas dalam perekonomian pada Januari 2003, disebutkan bahwa sejak gugurnya Sistem Bretton Woods pada tahun 1972-1973, telah membuka peluang perdagangan valuta asing, dan kegiatan tersebut telah berkembang secara spektakuler. Volume yang diperdagangkan di pasar dunia meningkat dari US$ 5 miliar per hari di tahun 1973 menjadi lebih dari US$ 900 miliar di tahun 1992, kebanyakan transaksi bersifat spekulatif dan kurang dari 2% yang dipergunakan sebagai pembayaran perdagangan.

Sementara itu, estimasi volume transaksi yang terjadi di pasar keuangan global (currency speculation dan derivative market) pada tahun 2002 saja diperkirakan mencapai lebih dari US$ 1,5 triliun per hari, atau sekitar US$ 400 triliun per tahun, sedangkan volume transaksi yang terjadi pada perdagangan dunia di sektor riil hanya US$ 6 triliun setiap tahun.

Nilai transaksi setiap harinya di pasar keuangan global saat ini dapat berkisar puluhan miliar US$ untuk perdagangan Efek derivatif, baik yang berbasis Efek ekuitas, hak tagih, kredit konsumsi maupun Efek bersifat surat hutang lainnya. Bila kredit perumahan di AS pada tahun 2007 mencapai US$ 12 triliun maka surat berharga CDOs yang merupakan produk hasil sekuritisasi atau turunannya nilainya dapat jauh lebih besar lagi, begitu pula potensi masalah yang ditimbulkannya. Ini belum termasuk lagi dengan Efek derivatif yang berbasis polis Credit Default Swaps (CDSs), yaitu polis yang dibeli oleh pemegang obligasi dari perusahaan asuransi semisal American Insurance Group (AIG) untuk proteksi atas resiko gagal bayarnya bunga dan pokok obligasi oleh perusahaan penerbitnya.

Melihat begitu besarnya nilai Efek dan kredit derivatif yang beredar di AS dan Eropa yang merupakan episentrum kekacauan sistem keuangan global maka potensi krisis yang ditimbulkannya juga maha hebat. Oleh karena itu sistem keuangan global patut segera dibenahi, salah satunya dengan memberi porsi lebih bagi berperannya sistem keuangan dan pembiayaan global berbasis Syariah. Data yang diperoleh dari S & P in Chicago Journal of Int Law, Vol 7, No 2, 2007 and World Bank Website, nilai industri pembiayaan dan keuangan Islam pada tahun 2007 baru sekitar US$ 750 miliar, dengan nilai emisi sukuk (outstanding) dan surat berharga Syariah lainnya diperkirakan sekitar US$ 200 miliar (Sukuk Summit, London 2008). Bila dibandingkan dengan Efek dan kredit derivatif konvensional yang beredar saat ini maka nilai emisi industri keuangan Syariah mungkin hanya sekitar 1 – 2% nya saja dan ini boleh dibilang estimasi yang paling optimis.

Peluang Pembiayaan dan Investasi Syariah di Pasar Modal
Runtuhnya sistem keuangan global yang dipicu oleh menggelembungnya emisi kredit derivatif dan investasi besar-besaran pada portofolio derivatif dan spekulatif yang pernah dikhawatirkan oleh Warren Buffet dan Rubin saat ini sedang berlangsung dan dapat semakin parah bila ketimpangan besar yang terjadi di sektor moneter dan sektor riil dan produktif tidak segera dibenahi.

Perkembangan pesat di sektor moneter dan pemanfaatan uang sebagai komoditas dan bunga sebagai harganya dalam ekonomi konvensional telah menyedot uang dan produktifitas atau nilai tambah yang dihasilkan sektor riil sehingga sektor moneter telah menghambat pertumbuhan sektor riil, menimbulkan inflasi dan menghambat pertumbuhan ekonomi.Dalam sistem ekonomi dan keuangan berbasis Syariah, dikotomi sektor riil dan moneter tidak akan terjadi karena absennya sistem bunga dan larangan memperdagangkan uang sebagai komoditas sehingga corak ekonomi Syariah adalah ekonomi berbasis produktifitas dan sektor riil (real based economy). Sistem ini akan mengembalikan fungsi uang sebagai alat tukar untuk memperlancar kegiatan investasi, produksi, dan perniagaan di sektor riil.

Aktifitas ekonomi dalam Islam dilakukan atas dasar keadilan, tidak saling merugikan, etika usaha yang benar dan baik, larangan riba, spekulasi, gharar, dan atau membiarkan harta (uang) tidak produktif, sehingga aktifitas ekonomi yang dilakukan dapat meningkatkan kegiatan sektor riil sehingga meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Prinsip-prinsip dan konsep Syariah dalam pembiayaan dan transaksi yang lain adalah :

1.     Transaksi bisnis harus berasaskan manfaat
Pemilik modal (shahib al-maal) hanya berhak atas pembagian hasil manfaat menurut nisbah bagi hasil yang telah ditentukan karena itu transaksi pembiayaan yang dianjurkan dalam syariat Islam adalah transaksi pembiayaan yang berdasarkan prinsip bagi hasil dalam bentuk akad mudharabah dan musyarakah.
2.     Transaksi harus spesifik dan transparan
Transaksi harus didasarkan pada itikad baik, spesifik dan transparan sehingga tidak boleh terdapat gharar, yaitu hal-hal yang dapat menimbulkan kerugian akibat bentuk transaksi yang obyeknya tidak jelas atau transaksi yang mengandung ketidakpastian.
3.     Resiko transaksi harus dikelola dengan baik
Transaksi yang dilakukan harus didasari oleh informasi dan pengetahuan yang cukup dalam mengenalisa resiko sehingga dilarang melakukan transaksi dengan motif spekulasi (maysir). Maysir yang terbesar adalah dalam situasi zero-sum game dimana keuntungan suatu pihak merupakan kerugian pihak lain.
4.     Prinsip kehati-hatian (ihtiyath) dalam penempatan dana
Kejelasan informasi transaksi, resiko maturitas, dan resiko sistemik harus tercantum dalam akad (perjanjian) transaksi penempatan dana.
5.     Pengelola dana (mudharib) harus menjaga amanah
Perusahaan dan pihak-pihak selaku pengelola dana harus bertindak profesional dan selalu menjaga kepercayaan yang diberikan oleh pemilik modal sesuai yang diperjanjikan.

Dalam konteks Indonesia, di pasar finansial umumnya dan di pasar modal khususnya, sebagai upaya untuk menangkal dampak lebih buruk akibat gejolak sistem keuangan global, maka sangat didukung langkah-langkah antisipasi penanganan krisis oleh pemerintah, diantaranya adalah pelonggaran likuiditas melalui percepatan belanja kementerian dan penurunan GWM perbankan menjadi 7,5% serta peningkatan jumlah nilai simpanan masyarakat yang dijamin (blanket guarantee) sampai dengan Rp. 2 miliar.

Sementara itu, antisipasi cepat oleh otoritas pasar modal dalam menjaga stabilitas dan meredam kepanikan pemodal di Bursa Saham patut didukung, diantaranya :
  • Melakukan penghentian sementara perdagangan atau suspensi terhadap aktifitas pasar saham (market suspension) bila mekanisme pasar tidak berjalan normal dan diwarnai kepanikan.
  • Kemudahan emiten untuk melakukan pembelian kembali saham-sahamnya (buy back) hingga 20% dari modal disetornya dan tanpa melakukan RUPS serta tidak dibatasinya nilai maksimum yang dapat dibeli terhadap total volume harian.
  • Reksa Dana Terproteksi yang memiliki portofolio SUN dan memegang hingga jatuh tempo tidak harus melakukan marked to market.
  • Melarang untuk sementara perdagangan saham-saham yang belum dimiliki (short selling).
  • Menindak tegas pelaku pasar yang menimbulkan informasi yang menyesatkan.
  • Merencanakan untuk membuat peraturan yang mengatur kegiatan REPO (repurchase aggrement) saham yang nilai transaksinya saat ini cukup signifikan.

Beberapa kebijakan yang diambil Bapepam LK tersebut adalah sesuai Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal yang difatwakan oleh DSN MUI dan kemudian diakomodasi dalam Peraturan Bapepam LK, tentang penerbitan Efek syariah, yaitu larangan short selling atau bai’ al-ma’dum dan mencegah transaksi yang berpotensi terjadi manipulasi dan informasi yang menyesatkan sehingga transaksi berjalan sesuai mekanisme yang berkeadilan (al-’adalah) dan tidak saling merugikan dan membahayakan (laa dharara walaa dhirara) pemodal saham lain.

Larangan transaksi Efek lainnya yang diatur dalam Fatwa No.40/DSN-MUI/X/2003, adalah melakukan penawaran palsu atau manipulasi transaksi Efek (bai’ al-najsy), perdagangan Efek berdasarkan informasi orang dalam (insider trading), pembiayaan transaksi Efek dengan pinjaman berbasis bunga (margin trading), dan melakukan monopoli dan konsorsium atas perdagangan suatu Efek dengan menggunakan bantuan  pihak-pihak lain (melakukan cornering atau ihtikar).   

Gejolak sistem keuangan global yang dipicu oleh pecahnya gelembung investasi Efek dan kredit derivatif yang diciptakan oleh sistem keuangan kapitalis harus menjadi pelajaran bagi semua pemangku kepentingan pasar finansial di Indonesia. Oleh karena itu, selain langkah-langkah dan kebijakan yang diambil oleh Bapepam LK seperti tersebut di atas maka otoritas pasar modal dan pemerintah juga perlu mendukung perkembangan dan pengembangan pembiayaan dan instrumen investasi Syariah yang belum dimanfaatkan secara optimal sebagai berikut :

Sukuk
Definisi menurut Peraturan Bapepam LK No. IX.A.13, tanggal 23 Nov. 2006, adalah Efek Syariah berupa sertifikat atau bukti kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili bagian penyertaan yang tidak terpisahkan atau tidak terbagi atas :
  • Kepemilikan aset berwujud tertentu
  • Nilai manfaat dan jasa atas aset proyek tertentu atau aktivitas investasi tertentu
  • Kepemilikan atas aset proyek terntentu atau aktivitas investasi tertentu

Dalam industri keuangan Syariah, Sukuk merupakan bentuk sekuritisasi yang dapat berbasis aset berwujud, nilai manfaat dan jasa atas aset proyek atau aktifitas investasi tertentu. Sukuk berhubungan hanya dengan satu kontrak dan memelihara kesinambungan aset sepanjang waktu dan ini sangat berbeda dengan Efek derivatif yang mewakili turunan atau derivasi berganda dari kontrak yang berbeda yang dibuat dari kontrak dasar utama.

Sukuk dapat distruktur dengan skema dan akad mudharabah, ijarah, musyarakah, dan isthisna. Saat ini yang sudah diterbitkan di pasar modal dalam negeri adalah Sukuk dengan akad mudharabah dan ijarah, diantaranya :


  • Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)
SBSN atau Sukuk Negara diterbitkan berdasarkan UU No.19, tanggal 7 Mei 2008, dengan skema dan akad ijarah muntahiyah bittamlik atau perjanjian sewa menyewa dengan opsi pemindahan hak milik atas objek yang disewa kepada penyewa setelah perjanjian berakhir (sewa beli). Emisi pertama SBSN oleh pemerintah RI adalah seri IFR 0001 dan IFR 0002 senilai total Rp. 4,7 triliun. Nilai emisi ini hanya 0,9% bila dibandingkan dengan nilai emisi obligasi pemerintah sebesar Rp. 521,67 triliun (lihat Tabel 02). Berdasarkan UU tentang SBSN tersebut maka pemerintah dapat juga menerbitkan Sukuk untuk diperdagangkan di pasar modal internasional dalam bentuk Sukuk Global.
  • Sukuk Korporasi
Diterbitkan pertama kali oleh PT Indosat Tbk dengan akad mudharabah atau perjanjian pengelolaan dana berbasis bagi hasil, senilai Rp. 175 milyar, dengan indikasi bagi hasil 15,75% pada akhir tahun 2002, yang saat itu berdasarkan Fatwa No.32/DSN-MUI/IX/2002, dinamakan sebagai Obligasi Syariah. Setelah keluarnya Peraturan Bapepam LK No.IX.A.13. maka istilah Sukuk kemudian mulai digunakan. Nilai emisi Obligasi Syariah dan atau Sukuk Korporasi hingga Agustus 2008 adalah Rp. 4,2 triliun atau hanya 5,6% dibandingkan dengan nilai emisi obligasi korporasi yang mencapai Rp. 74,2 triliun. Sebagian besar Sukuk korporasi tersebut diterbitkan dengan akad ijarah yaitu akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu obyek dengan imbalan sewa tanpa diikuti dengan perpindahan kepemilikan, senilai Rp. 2,84 triliun atau sekitar 67,5%, sisanya dengan menggunakan akad mudharabah.

Efek Beragun Aset Syariah
Merupakan Efek Syariah yang dapat disekuritisasi dari aset keuangan berupa tagihan yang timbul dari pembiayaan murabahah, kartu kredit syariah, Surat Berharga Syariah yang diterbitkan oleh Negara atau korporasi dan tagihan lainnya yang didasari oleh skema pembiayaan syariah. Bapepam LK sudah memberikan peluang dan sangat mendorong pelaku pasar keuangan untuk menerbitkan instrumen Efek Syariah ini yang dalam Peraturan No. II.K.1 merupakan salah satu Efek Syariah yang masuk dalam Daftar Efek Syariah. Instrumen Syariah ini cukup potensial bagi pendanaan kembali Lembaga Keuangan Syariah yang memiliki aset keuangan berupa tagihan seperti dijelaskan di awal paragraf sekaligus alternatif investasi Syariah bagi portofolio Reksa Dana Syariah, masyarakat pemodal dan institusi pengelola dana lainnya. Perusahaan Manajer Investasi juga dapat menerbitkan produk investasi dengan skema Kontrak Investasi Kolektif dengan underlying asset Efek Beragun Aset Syariah (KIKEBA Syariah).

Reksa Dana Syariah
Reksa Dana Syariah adalah Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam UU Pasar Modal dan peraturan pelaksanaannya yang Akad maupun cara penerbitannya memenuhi Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal. Reksa Dana Syariah dapat berupa Reksa Dana Konvensional seperti yang dikenal selama ini yaitu RD Saham Syariah, RD Pend. Tetap Syariah, dan RD Campuran Syariah. Data yang diperoleh hingga 31 Juli 2008, nilai dana kelolaan Reksa Dana Syariah (skema konvensional) termasuk RD Indeks Syariah (skema terstruktur) adalah Rp. 3,34 triliun atau hanya 3,49% dari nilai dana kelolaan industri Reksa Dana yang mencapai Rp. 95,6 triliun (lihat Tabel 03).

Salah satu Reksa Dana Syariah dengan skema terstruktur yang belum diterbitkan dan memiliki prospek imbal hasil yang menarik dan relatif aman untuk jangka panjang adalah RD Terproteksi Syariah dengan portofolio utama pada Surat Berharga Syariah yang telah dan akan diterbitkan oleh pemerintah seperti SBSN dan Indonesian Global Sukuk.

Reksa Dana Syariah dengan skema terstruktur lainnya yang dapat menjadi alternatif investasi syariah adalah Reksa Dana Kontrak Investasi Kolektif dengan Penyertaan Terbatas. Reksa Dana Syariah jenis ini dapat dimanfaatkan sebagai wadah penghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio Efek Syariah semacam Efek Beragun Aset Syariah atau Efek Syariah hasil sekuritisasi Islami lainnya.



Saham Syariah
Saham Syariah yang dimaksud disini adalah saham-saham yang masuk dalam Daftar Efek Syariah (DES) yang diterbitkan oleh Bapepam LK dan dievaluasi secara berkala. Kriteria emiten atau perusahaan publik yang masuk dalam DES tersebut adalah emiten yang jenis usaha, produk, Akad, serta cara pengelolaan usahanya tidak bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah, yaitu bukan usaha perjudian, bukan lembaga keuangan konvensional (ribawi), tdak memproduksi, mendistribusikan dan memperdagangkan barang atau jasa yang haram, merusak moral dan bersifat mudarat serta emiten yang tidak memiliki struktur permodalan dengan pembiayaan hutang berbasis bunga lebih dominan dari ekuitasnya.

Salah satu instumen investasi Syariah di Bursa Efek Indonesia adalah investasi dalam saham-saham yang masuk dalam DES. Sifat investasi dalam saham adalah potensi keuntungan yang tinggi dalam jangka panjang dengan volatilitas perubahan harga pasar yang tinggi pula dalam jangka pendek. Investasi dalam saham dibolehkan dalam Islam sepanjang dalam koridor etika, aturan dan penerapan transaksi yang sesuai dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal.

Saat ini merupakan timing untuk mulai berinvestasi pada saham-saham perusahaan yang memiliki prospek pertumbuhan usaha yang baik di masa mendatang dengan struktur permodalan yang sangat sehat, beberapa diantaranya adalah saham-saham Badan Usaha Milik Negara,  PT Tambang Batubara Bukit Asam (PTBA), PT Timah Persero (TINS), PT Aneka Tambang (ANTM), dan PT Semen Gresik (SMGR). Valuasi saham-saham tersebut sangat murah dan menarik (valuasi konsensus pasar menggunakan harga tanggal 17 Okt. 08), yaitu hanya memiliki rasio kemahalan (Price Earning Ratio) antara 3 hingga 5 X, dan bahkan memiliki posisi kas netto (net cash) dalam Neraca keuangannya.  Apalagi dengan memanfaatkan momentum kebijakan buy back yang disarankan oleh pemerintah kepada manajemen BUMN tersebut.



Demikian sumbangan pemikiran sederhana yang dapat kami sampaikan dalam Seminar mengenai Gejolak Sistem Keuangan Global dan Peluang Pengembangan Ekonomi Syariah yang diselenggarakan oleh Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Ekonomi, Konsentrasi Islamic Economics and Finance – IEF, UNIVERSITAS TRISAKTI.
Wallohu a’lam bishowab

Jakarta, 24 Oktober 2008

Nuryana Hidayat SE., ME.
Director – PT Gani Asset Management