Dua tahun terakhir ini pergerakan harga-harga
Efek di pasar keuangan global, baik bersifat ekuitas, surat hutang, maupun
instrumen derivatifnya banyak dipengaruhi oleh gejolak di pasar keuangan AS
yang dipicu oleh krisis subprime mortgage.
Subprime mortgage sendiri merupakan
kredit pemilikan perumahan (KPR) yang beresiko tinggi - karena tidak disertai
dengan rasio kolateral yang cukup dan
kelayakan kredibilitas debiturnya - yang diberikan oleh bank dengan jaminan
dokumen kepemilikan atas rumah tersebut atau dihipotikan.
Masyarakat AS memang dikenal gemar
berhutang, mulai dari pembiayaan untuk pemilikan rumah, pengeluaran rumah
tangga, maupun pengeluaran konsumtif lainnya seperti pembelanjaan menggunakan
kartu kredit. Belanja konsumen merupakan bagian terbesar yang menopang
perekonomian AS dengan PDB sekitar US$ 14 triliun. Setali tiga uang dengan
pemerintah AS yang juga gemar belanja untuk membiayai perangnya melawan
terorisme dan anggaran belanja negara rutin lainnya yang juga maha besar,
sementara setiap tahun neraca transaksi berjalannya selalu defisit ratusan
miliar US$ dan dengan kecenderungan peningkatan defisit pada tahun-tahun
berikutnya. Berdasarkan data
dari Reuters yang dikutip oleh Kompas (20/10), untuk tahun 2007, neraca
transaksi berjalan AS defisit sekitar US$ 731,8 miliar.
Ketika terjadi perlambatan kegiatan
ekonomi yang mengarah ke jurang resesi di negara adi daya tersebut, banyak
warga AS yang kehilangan pekerjaan atau setidaknya terjadi penurunan atas
pendapatan bulanannya sehingga tidak mampu membayar cicilan kredit perumahan
yang diambilnya. Karena memang sebagian besar debitur dari kredit subprime tersebut tidak memiliki
kelayakan bayar, maka terjadilah kemacetan massal kredit di sektor perumahan AS
sejak pertengahan tahun lalu, yang menyebabkan kolapsnya perusahaan-perusahaan
keuangan pemberi KPR, diantaranya yang terbesar adalah Fannie Mae dan Freddie
Mac. Kedua perusahaan tersebut berdasarkan data dari Bloomberg mengelola hampir
setengah dari pinjaman perumahan di AS senilai US$ 12 triliun sehingga harus
diambil alih oleh Depkeu AS.
Resesi ekonomi AS - bila terjadi dan
menurut sebagian ekonom di kalangan universitas ternama AS bahkan sudah terjadi
saat ini - diantaranya akibat biaya tinggi produksi barang-barang konsumsi dan
industri karena lonjakan harga minyak mentah, komoditas (hard dan soft comodities),
daya beli yang menurun, serta tidak berjalannya kegiatan investasi produktif di
sektor riil karena kurang berjalannya fungsi intermediasi perbankan AS (yang
mungkin sudah sakit sejak lama..?). Pelaku pasar keuangan di AS dan sekutunya
di Eropa lebih suka mencari rente ekonomi dalam investasi portofolio derivatif
dan spekulatif, yang merupakan bentuk kapitalisme modern yang dibangun dengan “monetary based economy” dan bukan “real
based economy”.
Cerita belum berakhir disini karena
rentetan gejolak kemudian terjadi di pasar uang, pasar modal, pasar obligasi
dan pasar derivatif di AS akibat dipicu oleh krisis kredit perumahan subprime mortgage tersebut.
Subprime
mortgage yang menjadi
aset perusahaan pemberi KPR macam Fannie Mae dan Freddie Mac berupa hak tagih dan
jaminan atas kredit yang diberikan kepada debitur kemudian digadaikan lagi
kepada perbankan investasi ternama seperti Lehman Brothers dan Goldman Sachs
Group Inc serta perbankan investasi lainnya, yang kemudian mengemasnya dalam
bentuk Collaterized Debt Obligations
(CDOs), yaitu Efek hutang derivatif
yang merupakan hasil sekuritisasi berbasis agunan kredit subprime tersebut. Efek
hutang tersebut bahkan diperingkat dengan kategori layak investasi (investment grade) oleh perusahaan
pemeringkat Efek ternama macam Standard & Poors, yang kemudian dijual lagi
ke nasabah lembaga keuangan lainnya, korporasi dan individu di AS, Eropa, dan
Asia, melalui penjualan langsung atau dengan sistem keagenan.
Semakin tingginya kredit macet di sektor
perumahan AS menyebabkan jatuhnya nilai pasar CDOs tersebut. Akibatnya, harga pasar saham, obligasi, dan surat
hutang lainnya yang diterbitkan oleh bank-bank investasi ternama AS tersebut
ikut terjungkal dan diperdagangkan dengan harga super diskon. Emisi sekuritas
kredit yang baru pun menjadi tidak laku sehingga bank-bank investasi tersebut
kesulitan likuiditas sehingga mengalami kebangkrutan, salah satunya Lehman
Brothers, bank investasi yang sudah berumur satu setengah abad dan salah satu
pendiri bursa Wall Street. Bank-bank investasi terkemuka lainnya yang memiliki exposure besar di Efek derivatif
tersebut ikutan goyah, seperti JP Morgan Chase & Co, Merrill Lynch, dan
Citigroup Inc.
Kondisi ini kemudian menimbulkan kepanikan
para pemodal saham, pemegang obligasi, pembeli sekuritas CDOs dan Efek derivatif lainnya, bahkan merembet juga ke para
deposan bank-bank komersial di AS. Maka terjadilah kekacauan (turmoil) di pasar keuangan di AS. Bursa
Wall Street jatuh dalam ke level terendahnya dalam 5 (lima) tahun terakhir,
penurunan tajam nilai pasar surat hutang dan Efek derivatif lain, serta
terjadinya rush terhadap perbankan AS.
Berdasarkan data dari Federal Deposit Insurance Corp (FDIC) yang dikutip oleh
Bloomberg, setidaknya 15 bank mengalami kebangkrutann sepanjang tahun 2008 dan
yang terbesar adalah Washington Mutual Bank (Wamu Bank) dengan nilai aset
sekitar US$ 307 miliar.
Kekacauan pasar keuangan AS tersebut
kemudian menimbulkan sentimen negatif di perbankan dan pasar keuangan global
sehingga terjadi kejatuhan bursa saham utama di seluruh kawasan, termasuk pasar
modal Indonesia, dimana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek
Indonesia (BEI) pada tanggal 8 Oktober (saat perdagangan saham di BEI
dihentikan untuk sementara) telah turun hampir 50% bila dibandingkan dengan
harga pada awal tahun (year to date).
Kejatuhan IHSG selain dipicu oleh sentimen negatif krisis pasar keuangan global
juga dipengaruhi oleh melemahnya harga saham-saham perusahaan yang berbasis
penjualan dari sektor komoditas energi (crude
oil dan batubara), logam (nikel dan timah) dan pangan (CPO dan karet), yang selama ini merupakan penyumbang terbesar
pergerakan IHSG. Harga berbagai komoditas tersebut turun tajam antara 50
– 70% dari level harga tertingginya dalam dua tahun terakhir.
Pasar keuangan global semakin panik dengan
semakin meluasnya kemacetan kredit sektor perumahan ke negara-negara G-7 lainnya,
salah satunya Inggris. Beberapa perusahaan keuangan pemberi kredit perumahan di
negara tersebut kolaps bila tidak dibailout
dan atau diambil alih pemerintah, seperti yang terjadi terhadap Royal Bank of
Scotland Group Plc (RBS), Bradford & Bingley dan Northern Rock Plc.
Kepanikan juga terjadi terhadap para deposan bank di hampir seluruh kawasan
Eropa sehingga pemerintah setempat mengambil kebijakan untuk menjamin seluruh
simpanan masyarakat dan pinjaman antar bank untuk membantu kelangkaan
likuiditas yang terjadi.
Di Indonesia, selain terjungkalnya IHSG, kelangkaan
likuiditas yang terjadi di perbankan dan pasar uang dalam negeri menyebabkan
bank-bank berlomba menarik deposan dengan imbalan bunga di atas 10% untuk
jangka waktu penempatan 1 bulan. Untuk nilai nominal dan jangka waktu
penempatan tertentu bahkan dapat mendapatkan bunga jauh lebih tinggi. Perang
tarif bunga yang terjadi menyebabkan terkoreksinya harga Surat Utang Negara dan
obligasi pemerintah lainnya, terlebih setelah salah satu perusahaan sekuritas
asing merekomendasikan nasabahnya untuk menjauhi surat utang Indonesia. Saat
ini imbal hasil Surat Utang Negara berjangka menengah panjang dapat mencapai 15
– 16%.
Rapuhnya Sistem Keuangan
Konvensional
Rapuhnya sistem keuangan konvensional yang
dimotivasi oleh tujuan spekulasi dan permainan manipulasi sehingga didalamnya
mengandung unsur ketidakhati-hatian (dharar),
ketidakpastian dan resiko tinggi (gharar),
riba, suap (risywah) maysir, dan
kezholiman, telah diingatkan oleh banyak ekonom dan ahli keuangan lainnya di
awal tahun 2000–an, berikut adalah
beberapa diantaranya :
David M Walker, Comptroller General pemerintah
AS, mengingatkan betapa bahayanya situasi ekonomi negara AS. Posisi keuangan
pemerintah Federal tahun 2004 hanya memiliki aset sekitar US$ 1 triliun
sementara hutangnya US$ 8 triliun. Angka ini bila dimasukkan juga kewajiban
kontinjensi Medicare dan Pension Plan maka utang pemerintah
Federal AS menjadi sekitar US$ 37 triliun sehingga anak-anak yang baru lahir di
Amerika sudah langsung memiliki utang US$ 100.000 per kepala.
Morgan Stanley menyebutkan bahwa pada
tahun 2001 dan 2002 jumlah obligasi yang default
di AS sekitar US$ 170 miliar. Jumlah ini lebih besar dari jumlah obligasi
yang default selama 20 tahun sebelumnya
secara kumulatif. Yang paling mengkhawatirkan lagi adalah emisi kredit
derivatif yang pada Desember tahun 2002 saja ditaksir sekitar US$ 2.500 miliar
atau kenaikan hingga 48 kali lipat dibandingkan angka pada Desember 1998 yang
berkisar US$ 50 miliar. Transaksi derivatif ini hanya transaksi spekulasi dan
akal-akalan yang dilakukan para investment
bankers dan hedge fund managers. Warren
Buffet dan juga Rubin, mantan Secretary
of Treasury AS mengkhawatirkan transaksi ini karena dapat meruntuhkan sistem
keuangan global (Harahap, 2004).
Skandal akuntansi dan sistem keuangan
konvensional sering terjadi pada korporasi di AS, seperti kasus Enron
Corporation pada tahun 2002. Sebagian diantaranya bahkan melakukan
penggelembungan modal dengan metode
akuntansi yang dianggap tidak bertentangan dengan peraturan yang ada. Morgan
Stanley, yang disewa Departemen Keuangan AS untuk menyelidiki perusahaan
keuangan di AS menyimpulkan indikasi tersebut dilakukan juga oleh Fannie Mae
dan Freddie Mac.
Bazerman (2002), menyebutkan bahwa skandal
besar dalam korporasi yang mempengaruhi industri keuangan dan pasar modal tidak
terlepas dari tindakan korupsi dan kriminalitas dari akuntan yang tidak
memiliki etika dengan memalsukan angka dan melakukan penyelewengan untuk kepentingan
pribadi dan kliennya. Hal ini tidak terlepas dari filsafat dan sifat subjektif
dari akuntansi itu sendiri serta hubungan yang sangat erat antara akuntan
publik dan kliennya.
Dalam dua dekade ini perkembangan ekonomi
yang sangat mencolok adalah perkembangan sistem keuangan dunia. Perkembangan
baik kualitas maupun kuantitas transaksi di sektor moneter ini berakibat
ketidakseimbangan antara pasar uang dan pasar barang. Pertumbuhan di pasar
uang, pasar modal, pasar surat hutang dan pasar derivatif berkembang sangat
cepat, hingga pertumbuhannya jauh melebihi pertumbuhan perdagangan di sektor riil.
Dalam suatu seminar mengenai peluang dinar
emas dalam perekonomian pada Januari 2003, disebutkan bahwa sejak gugurnya
Sistem Bretton Woods pada tahun 1972-1973, telah membuka peluang perdagangan
valuta asing, dan kegiatan tersebut telah berkembang secara spektakuler. Volume
yang diperdagangkan di pasar dunia meningkat dari US$ 5 miliar per hari di
tahun 1973 menjadi lebih dari US$ 900 miliar di tahun 1992, kebanyakan
transaksi bersifat spekulatif dan kurang dari 2% yang dipergunakan sebagai
pembayaran perdagangan.
Sementara itu, estimasi volume transaksi
yang terjadi di pasar keuangan global (currency
speculation dan derivative market)
pada tahun 2002 saja diperkirakan mencapai lebih dari US$ 1,5 triliun per hari,
atau sekitar US$ 400 triliun per tahun, sedangkan volume transaksi yang terjadi
pada perdagangan dunia di sektor riil hanya US$ 6 triliun setiap tahun.
Nilai transaksi setiap
harinya di pasar keuangan global saat ini dapat berkisar puluhan miliar US$
untuk perdagangan Efek derivatif, baik yang berbasis Efek ekuitas, hak tagih,
kredit konsumsi maupun Efek bersifat surat hutang lainnya. Bila kredit
perumahan di AS pada tahun 2007 mencapai US$ 12 triliun maka surat berharga CDOs yang merupakan produk hasil
sekuritisasi atau turunannya nilainya dapat jauh lebih besar lagi, begitu pula
potensi masalah yang ditimbulkannya. Ini belum termasuk lagi dengan Efek
derivatif yang berbasis polis Credit
Default Swaps (CDSs), yaitu polis yang dibeli oleh pemegang obligasi dari perusahaan
asuransi semisal American Insurance Group (AIG) untuk proteksi atas resiko
gagal bayarnya bunga dan pokok obligasi oleh perusahaan penerbitnya.
Melihat begitu
besarnya nilai Efek dan kredit derivatif yang beredar di AS dan Eropa yang
merupakan episentrum kekacauan sistem keuangan global maka potensi krisis yang
ditimbulkannya juga maha hebat. Oleh karena itu sistem keuangan global patut
segera dibenahi, salah satunya dengan memberi porsi lebih bagi berperannya
sistem keuangan dan pembiayaan global berbasis Syariah. Data yang diperoleh
dari S & P in Chicago Journal of Int Law, Vol 7, No 2, 2007 and
World Bank Website, nilai industri pembiayaan dan keuangan Islam pada tahun
2007 baru sekitar US$ 750 miliar, dengan nilai emisi sukuk (outstanding) dan surat berharga Syariah lainnya diperkirakan
sekitar US$ 200 miliar (Sukuk Summit,
London 2008). Bila dibandingkan dengan Efek dan kredit derivatif konvensional
yang beredar saat ini maka nilai emisi industri keuangan Syariah mungkin hanya
sekitar 1 – 2% nya saja dan ini boleh dibilang estimasi yang paling optimis.
Peluang Pembiayaan dan Investasi Syariah di Pasar Modal
Runtuhnya sistem keuangan global yang
dipicu oleh menggelembungnya emisi kredit derivatif dan investasi besar-besaran
pada portofolio derivatif dan spekulatif yang pernah dikhawatirkan oleh Warren
Buffet dan Rubin saat ini sedang berlangsung dan dapat semakin parah bila
ketimpangan besar yang terjadi di sektor moneter dan sektor riil dan produktif
tidak segera dibenahi.
Perkembangan pesat di sektor moneter dan
pemanfaatan uang sebagai komoditas dan bunga sebagai harganya dalam ekonomi
konvensional telah menyedot uang dan produktifitas atau nilai tambah yang
dihasilkan sektor riil sehingga sektor moneter telah menghambat pertumbuhan
sektor riil, menimbulkan inflasi dan menghambat pertumbuhan ekonomi.Dalam
sistem ekonomi dan keuangan berbasis Syariah, dikotomi sektor riil dan moneter
tidak akan terjadi karena absennya sistem bunga dan larangan memperdagangkan
uang sebagai komoditas sehingga corak ekonomi Syariah adalah ekonomi berbasis
produktifitas dan sektor riil (real based
economy). Sistem ini akan mengembalikan fungsi uang sebagai alat tukar
untuk memperlancar kegiatan investasi, produksi, dan perniagaan di sektor riil.
Aktifitas ekonomi
dalam Islam dilakukan atas dasar keadilan, tidak saling merugikan, etika usaha
yang benar dan baik, larangan riba, spekulasi, gharar, dan atau membiarkan harta (uang) tidak produktif, sehingga
aktifitas ekonomi yang dilakukan dapat meningkatkan kegiatan sektor riil
sehingga meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Prinsip-prinsip dan
konsep Syariah dalam pembiayaan dan transaksi yang lain adalah :
1. Transaksi bisnis harus berasaskan manfaat
Pemilik modal (shahib al-maal) hanya berhak atas
pembagian hasil manfaat menurut nisbah bagi hasil yang telah ditentukan karena
itu transaksi pembiayaan yang dianjurkan dalam syariat Islam adalah transaksi
pembiayaan yang berdasarkan prinsip bagi hasil dalam bentuk akad mudharabah dan musyarakah.
2. Transaksi harus spesifik dan transparan
Transaksi
harus didasarkan pada itikad baik, spesifik dan transparan sehingga tidak boleh
terdapat gharar, yaitu hal-hal yang
dapat menimbulkan kerugian akibat bentuk transaksi yang obyeknya tidak jelas
atau transaksi yang mengandung ketidakpastian.
3. Resiko transaksi harus dikelola dengan
baik
Transaksi
yang dilakukan harus didasari oleh informasi dan pengetahuan yang cukup dalam
mengenalisa resiko sehingga dilarang melakukan transaksi dengan motif spekulasi
(maysir). Maysir yang terbesar adalah dalam situasi zero-sum game dimana keuntungan suatu pihak merupakan kerugian
pihak lain.
4. Prinsip kehati-hatian (ihtiyath) dalam penempatan dana
Kejelasan
informasi transaksi, resiko maturitas, dan resiko sistemik harus tercantum
dalam akad (perjanjian) transaksi penempatan dana.
5. Pengelola dana (mudharib) harus menjaga amanah
Perusahaan dan
pihak-pihak selaku pengelola dana harus bertindak profesional dan selalu
menjaga kepercayaan yang diberikan oleh pemilik modal sesuai yang
diperjanjikan.
Dalam konteks Indonesia, di pasar finansial umumnya dan di pasar modal
khususnya, sebagai upaya untuk menangkal dampak lebih buruk akibat gejolak
sistem keuangan global, maka sangat didukung langkah-langkah antisipasi
penanganan krisis oleh pemerintah, diantaranya adalah pelonggaran likuiditas
melalui percepatan belanja kementerian dan penurunan GWM perbankan menjadi 7,5%
serta peningkatan jumlah nilai simpanan masyarakat yang dijamin (blanket guarantee) sampai dengan Rp. 2
miliar.
Sementara itu, antisipasi cepat oleh otoritas pasar modal dalam menjaga
stabilitas dan meredam kepanikan pemodal di Bursa Saham patut didukung, diantaranya
:
- Melakukan penghentian sementara perdagangan atau suspensi terhadap aktifitas pasar saham (market suspension) bila mekanisme pasar tidak berjalan normal dan diwarnai kepanikan.
- Kemudahan emiten untuk melakukan pembelian kembali saham-sahamnya (buy back) hingga 20% dari modal disetornya dan tanpa melakukan RUPS serta tidak dibatasinya nilai maksimum yang dapat dibeli terhadap total volume harian.
- Reksa Dana Terproteksi yang memiliki portofolio SUN dan memegang hingga jatuh tempo tidak harus melakukan marked to market.
- Melarang untuk sementara perdagangan saham-saham yang belum dimiliki (short selling).
- Menindak tegas pelaku pasar yang menimbulkan informasi yang menyesatkan.
- Merencanakan untuk membuat peraturan yang mengatur kegiatan REPO (repurchase aggrement) saham yang nilai transaksinya saat ini cukup signifikan.
Beberapa kebijakan yang diambil Bapepam LK tersebut adalah sesuai
Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal yang difatwakan oleh DSN MUI dan
kemudian diakomodasi dalam Peraturan Bapepam LK, tentang penerbitan Efek
syariah, yaitu larangan short selling
atau bai’ al-ma’dum dan mencegah
transaksi yang berpotensi terjadi manipulasi dan informasi yang menyesatkan
sehingga transaksi berjalan sesuai mekanisme yang berkeadilan (al-’adalah) dan tidak saling merugikan
dan membahayakan (laa dharara walaa dhirara) pemodal saham lain.
Larangan transaksi Efek lainnya yang diatur dalam Fatwa
No.40/DSN-MUI/X/2003, adalah melakukan penawaran palsu atau manipulasi
transaksi Efek (bai’ al-najsy),
perdagangan Efek berdasarkan informasi orang dalam (insider trading), pembiayaan transaksi Efek dengan pinjaman
berbasis bunga (margin trading), dan
melakukan monopoli dan konsorsium atas perdagangan suatu Efek dengan
menggunakan bantuan pihak-pihak lain
(melakukan cornering atau ihtikar).
Gejolak sistem keuangan global yang dipicu oleh pecahnya gelembung
investasi Efek dan kredit derivatif yang diciptakan oleh sistem keuangan
kapitalis harus menjadi pelajaran bagi semua pemangku kepentingan pasar
finansial di Indonesia. Oleh karena itu, selain langkah-langkah dan kebijakan
yang diambil oleh Bapepam LK seperti tersebut di atas maka otoritas pasar modal
dan pemerintah juga perlu mendukung perkembangan dan pengembangan pembiayaan
dan instrumen investasi Syariah yang belum dimanfaatkan secara optimal sebagai
berikut :
Sukuk
Definisi menurut Peraturan Bapepam LK No. IX.A.13, tanggal 23 Nov. 2006,
adalah Efek Syariah berupa sertifikat atau bukti kepemilikan yang bernilai sama
dan mewakili bagian penyertaan yang tidak terpisahkan atau tidak terbagi atas :
- Kepemilikan aset berwujud tertentu
- Nilai manfaat dan jasa atas aset proyek tertentu atau aktivitas investasi tertentu
- Kepemilikan atas aset proyek terntentu atau aktivitas investasi tertentu
Dalam industri keuangan Syariah, Sukuk merupakan bentuk sekuritisasi yang
dapat berbasis aset berwujud, nilai manfaat dan jasa atas aset proyek atau aktifitas
investasi tertentu. Sukuk berhubungan hanya dengan satu kontrak dan memelihara
kesinambungan aset sepanjang waktu dan ini sangat berbeda dengan Efek
derivatif yang mewakili turunan atau derivasi berganda dari kontrak yang
berbeda yang dibuat dari kontrak dasar utama.
Sukuk dapat distruktur dengan skema dan akad mudharabah, ijarah, musyarakah, dan isthisna. Saat ini yang sudah diterbitkan di pasar modal dalam
negeri adalah Sukuk dengan akad mudharabah
dan ijarah, diantaranya :
- Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)
SBSN atau Sukuk
Negara diterbitkan berdasarkan UU No.19, tanggal 7 Mei 2008, dengan skema dan
akad ijarah muntahiyah bittamlik atau
perjanjian sewa menyewa dengan opsi pemindahan hak milik atas objek yang disewa
kepada penyewa setelah perjanjian berakhir (sewa beli). Emisi pertama SBSN oleh pemerintah RI adalah seri
IFR 0001 dan IFR 0002 senilai total Rp. 4,7 triliun. Nilai emisi ini hanya 0,9% bila dibandingkan
dengan nilai emisi obligasi pemerintah sebesar Rp. 521,67 triliun (lihat Tabel
02). Berdasarkan UU tentang SBSN tersebut maka pemerintah dapat juga
menerbitkan Sukuk untuk diperdagangkan di pasar modal internasional dalam
bentuk Sukuk Global.
- Sukuk Korporasi
Diterbitkan
pertama kali oleh PT Indosat Tbk dengan akad mudharabah atau perjanjian pengelolaan dana berbasis bagi hasil, senilai
Rp. 175 milyar, dengan indikasi bagi hasil 15,75% pada akhir tahun 2002, yang
saat itu berdasarkan Fatwa No.32/DSN-MUI/IX/2002, dinamakan sebagai Obligasi Syariah.
Setelah keluarnya Peraturan Bapepam LK No.IX.A.13. maka istilah Sukuk kemudian
mulai digunakan. Nilai emisi Obligasi Syariah dan atau Sukuk Korporasi hingga
Agustus 2008 adalah Rp. 4,2 triliun atau hanya 5,6% dibandingkan dengan nilai
emisi obligasi korporasi yang mencapai Rp. 74,2 triliun. Sebagian besar Sukuk
korporasi tersebut diterbitkan dengan akad ijarah
yaitu akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu obyek dengan imbalan sewa
tanpa diikuti dengan perpindahan kepemilikan, senilai Rp. 2,84 triliun atau
sekitar 67,5%, sisanya dengan menggunakan akad mudharabah.
Efek Beragun Aset Syariah
Merupakan Efek Syariah yang dapat disekuritisasi dari aset keuangan berupa
tagihan yang timbul dari pembiayaan murabahah,
kartu kredit syariah, Surat Berharga Syariah yang diterbitkan oleh Negara atau
korporasi dan tagihan lainnya yang didasari oleh skema pembiayaan syariah. Bapepam
LK sudah memberikan peluang dan sangat mendorong pelaku pasar keuangan untuk
menerbitkan instrumen Efek Syariah ini yang dalam Peraturan No. II.K.1
merupakan salah satu Efek Syariah yang masuk dalam Daftar Efek Syariah.
Instrumen Syariah ini cukup potensial bagi pendanaan kembali Lembaga Keuangan
Syariah yang memiliki aset keuangan berupa tagihan seperti dijelaskan di awal
paragraf sekaligus alternatif investasi Syariah bagi portofolio Reksa Dana
Syariah, masyarakat pemodal dan institusi pengelola dana lainnya. Perusahaan
Manajer Investasi juga dapat menerbitkan produk investasi dengan skema Kontrak
Investasi Kolektif dengan underlying asset
Efek Beragun Aset Syariah (KIKEBA Syariah).
Reksa Dana Syariah
Reksa Dana Syariah adalah Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam UU Pasar
Modal dan peraturan pelaksanaannya yang Akad maupun cara penerbitannya memenuhi
Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal. Reksa Dana Syariah dapat berupa Reksa
Dana Konvensional seperti yang dikenal selama ini yaitu RD Saham Syariah, RD
Pend. Tetap Syariah, dan RD Campuran Syariah. Data yang diperoleh hingga 31
Juli 2008, nilai dana kelolaan Reksa Dana Syariah (skema konvensional) termasuk
RD Indeks Syariah (skema terstruktur) adalah Rp. 3,34 triliun atau hanya 3,49%
dari nilai dana kelolaan industri Reksa Dana yang mencapai Rp. 95,6 triliun
(lihat Tabel 03).
Salah satu Reksa Dana Syariah dengan skema terstruktur yang belum
diterbitkan dan memiliki prospek imbal hasil yang menarik dan relatif aman
untuk jangka panjang adalah RD
Terproteksi Syariah dengan portofolio utama pada Surat Berharga Syariah
yang telah dan akan diterbitkan oleh pemerintah seperti SBSN dan Indonesian
Global Sukuk.
Reksa Dana Syariah dengan skema terstruktur lainnya yang dapat menjadi
alternatif investasi syariah adalah Reksa
Dana Kontrak Investasi Kolektif dengan Penyertaan Terbatas. Reksa Dana Syariah jenis ini dapat dimanfaatkan sebagai
wadah penghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan
dalam portofolio Efek Syariah semacam Efek Beragun Aset Syariah atau Efek
Syariah hasil sekuritisasi Islami lainnya.
Saham Syariah
Saham Syariah yang dimaksud disini adalah saham-saham yang masuk dalam
Daftar Efek Syariah (DES) yang diterbitkan oleh Bapepam LK dan dievaluasi
secara berkala. Kriteria emiten atau
perusahaan publik yang masuk dalam DES tersebut adalah emiten yang jenis
usaha, produk, Akad, serta cara pengelolaan usahanya tidak bertentangan dengan Prinsip-prinsip
Syariah, yaitu bukan usaha perjudian, bukan lembaga keuangan konvensional
(ribawi), tdak memproduksi, mendistribusikan dan memperdagangkan barang atau
jasa yang haram, merusak moral dan bersifat mudarat serta emiten yang tidak
memiliki struktur permodalan dengan pembiayaan hutang berbasis bunga lebih
dominan dari ekuitasnya.
Salah satu instumen investasi Syariah di Bursa Efek Indonesia adalah
investasi dalam saham-saham yang masuk dalam DES. Sifat investasi dalam saham
adalah potensi keuntungan yang tinggi dalam jangka panjang dengan volatilitas
perubahan harga pasar yang tinggi pula dalam jangka pendek. Investasi dalam
saham dibolehkan dalam Islam sepanjang dalam koridor etika, aturan dan penerapan
transaksi yang sesuai dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal.
Saat ini merupakan timing untuk
mulai berinvestasi pada saham-saham perusahaan yang memiliki prospek
pertumbuhan usaha yang baik di masa mendatang dengan struktur permodalan yang
sangat sehat, beberapa diantaranya adalah saham-saham Badan Usaha Milik Negara,
PT Tambang Batubara Bukit Asam (PTBA),
PT Timah Persero (TINS), PT Aneka Tambang (ANTM), dan PT Semen Gresik (SMGR).
Valuasi saham-saham tersebut sangat murah dan menarik (valuasi konsensus pasar
menggunakan harga tanggal 17 Okt. 08), yaitu hanya memiliki rasio kemahalan (Price Earning Ratio) antara 3 hingga 5
X, dan bahkan memiliki posisi kas netto (net
cash) dalam Neraca keuangannya. Apalagi
dengan memanfaatkan momentum kebijakan buy
back yang disarankan oleh pemerintah kepada manajemen BUMN tersebut.
Demikian sumbangan pemikiran sederhana yang dapat kami sampaikan dalam
Seminar mengenai Gejolak Sistem Keuangan
Global dan Peluang Pengembangan Ekonomi Syariah yang diselenggarakan oleh
Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Ekonomi, Konsentrasi Islamic Economics and Finance – IEF, UNIVERSITAS TRISAKTI.
Wallohu
a’lam bishowab
Jakarta, 24 Oktober 2008
Nuryana Hidayat SE., ME.
Director – PT Gani Asset Management