Jumat, 25 Januari 2013

GEJOLAK PASAR KEUANGAN GLOBAL DAN PELUANG PEMBIAYAAN DAN INVESTASI SYARIAH DI PASAR MODAL


Dua tahun terakhir ini pergerakan harga-harga Efek di pasar keuangan global, baik bersifat ekuitas, surat hutang, maupun instrumen derivatifnya banyak dipengaruhi oleh gejolak di pasar keuangan AS yang dipicu oleh krisis subprime mortgage. Subprime mortgage sendiri merupakan kredit pemilikan perumahan (KPR) yang beresiko tinggi - karena tidak disertai dengan rasio kolateral  yang cukup dan kelayakan kredibilitas debiturnya - yang diberikan oleh bank dengan jaminan dokumen kepemilikan atas rumah tersebut atau dihipotikan.

Masyarakat AS memang dikenal gemar berhutang, mulai dari pembiayaan untuk pemilikan rumah, pengeluaran rumah tangga, maupun pengeluaran konsumtif lainnya seperti pembelanjaan menggunakan kartu kredit. Belanja konsumen merupakan bagian terbesar yang menopang perekonomian AS dengan PDB sekitar US$ 14 triliun. Setali tiga uang dengan pemerintah AS yang juga gemar belanja untuk membiayai perangnya melawan terorisme dan anggaran belanja negara rutin lainnya yang juga maha besar, sementara setiap tahun neraca transaksi berjalannya selalu defisit ratusan miliar US$ dan dengan kecenderungan peningkatan defisit pada tahun-tahun berikutnya. Berdasarkan data dari Reuters yang dikutip oleh Kompas (20/10), untuk tahun 2007, neraca transaksi berjalan AS defisit sekitar US$ 731,8 miliar.

Ketika terjadi perlambatan kegiatan ekonomi yang mengarah ke jurang resesi di negara adi daya tersebut, banyak warga AS yang kehilangan pekerjaan atau setidaknya terjadi penurunan atas pendapatan bulanannya sehingga tidak mampu membayar cicilan kredit perumahan yang diambilnya. Karena memang sebagian besar debitur dari kredit subprime tersebut tidak memiliki kelayakan bayar, maka terjadilah kemacetan massal kredit di sektor perumahan AS sejak pertengahan tahun lalu, yang menyebabkan kolapsnya perusahaan-perusahaan keuangan pemberi KPR, diantaranya yang terbesar adalah Fannie Mae dan Freddie Mac. Kedua perusahaan tersebut berdasarkan data dari Bloomberg mengelola hampir setengah dari pinjaman perumahan di AS senilai US$ 12 triliun sehingga harus diambil alih oleh Depkeu AS.

Resesi ekonomi AS - bila terjadi dan menurut sebagian ekonom di kalangan universitas ternama AS bahkan sudah terjadi saat ini - diantaranya akibat biaya tinggi produksi barang-barang konsumsi dan industri karena lonjakan harga minyak mentah, komoditas (hard dan soft comodities), daya beli yang menurun, serta tidak berjalannya kegiatan investasi produktif di sektor riil karena kurang berjalannya fungsi intermediasi perbankan AS (yang mungkin sudah sakit sejak lama..?). Pelaku pasar keuangan di AS dan sekutunya di Eropa lebih suka mencari rente ekonomi dalam investasi portofolio derivatif dan spekulatif, yang merupakan bentuk kapitalisme modern yang dibangun dengan “monetary based economy” dan bukan “real based economy”.

Cerita belum berakhir disini karena rentetan gejolak kemudian terjadi di pasar uang, pasar modal, pasar obligasi dan pasar derivatif di AS akibat dipicu oleh krisis kredit perumahan subprime mortgage tersebut.

Subprime mortgage yang menjadi aset perusahaan pemberi KPR macam Fannie Mae dan Freddie Mac berupa hak tagih dan jaminan atas kredit yang diberikan kepada debitur kemudian digadaikan lagi kepada perbankan investasi ternama seperti Lehman Brothers dan Goldman Sachs Group Inc serta perbankan investasi lainnya, yang kemudian mengemasnya dalam bentuk Collaterized Debt Obligations (CDOs), yaitu Efek hutang derivatif yang merupakan hasil sekuritisasi berbasis agunan kredit subprime tersebut. Efek hutang tersebut bahkan diperingkat dengan kategori layak investasi (investment grade) oleh perusahaan pemeringkat Efek ternama macam Standard & Poors, yang kemudian dijual lagi ke nasabah lembaga keuangan lainnya, korporasi dan individu di AS, Eropa, dan Asia, melalui penjualan langsung atau dengan sistem keagenan.

Semakin tingginya kredit macet di sektor perumahan AS menyebabkan jatuhnya nilai pasar CDOs tersebut. Akibatnya, harga pasar saham, obligasi, dan surat hutang lainnya yang diterbitkan oleh bank-bank investasi ternama AS tersebut ikut terjungkal dan diperdagangkan dengan harga super diskon. Emisi sekuritas kredit yang baru pun menjadi tidak laku sehingga bank-bank investasi tersebut kesulitan likuiditas sehingga mengalami kebangkrutan, salah satunya Lehman Brothers, bank investasi yang sudah berumur satu setengah abad dan salah satu pendiri bursa Wall Street. Bank-bank investasi terkemuka lainnya yang memiliki exposure besar di Efek derivatif tersebut ikutan goyah, seperti JP Morgan Chase & Co, Merrill Lynch, dan Citigroup Inc.

Kondisi ini kemudian menimbulkan kepanikan para pemodal saham, pemegang obligasi, pembeli sekuritas CDOs dan Efek derivatif lainnya, bahkan merembet juga ke para deposan bank-bank komersial di AS. Maka terjadilah kekacauan (turmoil) di pasar keuangan di AS. Bursa Wall Street jatuh dalam ke level terendahnya dalam 5 (lima) tahun terakhir, penurunan tajam nilai pasar surat hutang dan Efek derivatif lain, serta terjadinya rush terhadap perbankan AS. Berdasarkan data dari Federal Deposit Insurance Corp (FDIC) yang dikutip oleh Bloomberg, setidaknya 15 bank mengalami kebangkrutann sepanjang tahun 2008 dan yang terbesar adalah Washington Mutual Bank (Wamu Bank) dengan nilai aset sekitar US$ 307 miliar.

Kekacauan pasar keuangan AS tersebut kemudian menimbulkan sentimen negatif di perbankan dan pasar keuangan global sehingga terjadi kejatuhan bursa saham utama di seluruh kawasan, termasuk pasar modal Indonesia, dimana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tanggal 8 Oktober (saat perdagangan saham di BEI dihentikan untuk sementara) telah turun hampir 50% bila dibandingkan dengan harga pada awal tahun (year to date). Kejatuhan IHSG selain dipicu oleh sentimen negatif krisis pasar keuangan global juga dipengaruhi oleh melemahnya harga saham-saham perusahaan yang berbasis penjualan dari sektor komoditas energi (crude oil dan batubara), logam (nikel dan timah) dan pangan (CPO dan karet), yang selama ini merupakan penyumbang terbesar pergerakan IHSG. Harga berbagai komoditas tersebut turun tajam antara 50 – 70% dari level harga tertingginya dalam dua tahun terakhir.  

Pasar keuangan global semakin panik dengan semakin meluasnya kemacetan kredit sektor perumahan ke negara-negara G-7 lainnya, salah satunya Inggris. Beberapa perusahaan keuangan pemberi kredit perumahan di negara tersebut kolaps bila tidak dibailout dan atau diambil alih pemerintah, seperti yang terjadi terhadap Royal Bank of Scotland Group Plc (RBS), Bradford & Bingley dan Northern Rock Plc. Kepanikan juga terjadi terhadap para deposan bank di hampir seluruh kawasan Eropa sehingga pemerintah setempat mengambil kebijakan untuk menjamin seluruh simpanan masyarakat dan pinjaman antar bank untuk membantu kelangkaan likuiditas yang terjadi.

Di Indonesia, selain terjungkalnya IHSG, kelangkaan likuiditas yang terjadi di perbankan dan pasar uang dalam negeri menyebabkan bank-bank berlomba menarik deposan dengan imbalan bunga di atas 10% untuk jangka waktu penempatan 1 bulan. Untuk nilai nominal dan jangka waktu penempatan tertentu bahkan dapat mendapatkan bunga jauh lebih tinggi. Perang tarif bunga yang terjadi menyebabkan terkoreksinya harga Surat Utang Negara dan obligasi pemerintah lainnya, terlebih setelah salah satu perusahaan sekuritas asing merekomendasikan nasabahnya untuk menjauhi surat utang Indonesia. Saat ini imbal hasil Surat Utang Negara berjangka menengah panjang dapat mencapai 15 – 16%.

Rapuhnya Sistem Keuangan Konvensional

Rapuhnya sistem keuangan konvensional yang dimotivasi oleh tujuan spekulasi dan permainan manipulasi sehingga didalamnya mengandung unsur ketidakhati-hatian (dharar), ketidakpastian dan resiko tinggi (gharar), riba, suap (risywah) maysir, dan kezholiman, telah diingatkan oleh banyak ekonom dan ahli keuangan lainnya di awal tahun 2000–an,  berikut adalah beberapa diantaranya :

David M Walker, Comptroller General pemerintah AS, mengingatkan betapa bahayanya situasi ekonomi negara AS. Posisi keuangan pemerintah Federal tahun 2004 hanya memiliki aset sekitar US$ 1 triliun sementara hutangnya US$ 8 triliun. Angka ini bila dimasukkan juga kewajiban kontinjensi Medicare dan Pension Plan maka utang pemerintah Federal AS menjadi sekitar US$ 37 triliun sehingga anak-anak yang baru lahir di Amerika sudah langsung memiliki utang US$ 100.000 per kepala.

Morgan Stanley menyebutkan bahwa pada tahun 2001 dan 2002 jumlah obligasi yang default di AS sekitar US$ 170 miliar. Jumlah ini lebih besar dari jumlah obligasi yang default selama 20 tahun sebelumnya secara kumulatif. Yang paling mengkhawatirkan lagi adalah emisi kredit derivatif yang pada Desember tahun 2002 saja ditaksir sekitar US$ 2.500 miliar atau kenaikan hingga 48 kali lipat dibandingkan angka pada Desember 1998 yang berkisar US$ 50 miliar. Transaksi derivatif ini hanya transaksi spekulasi dan akal-akalan yang dilakukan para investment bankers dan hedge fund managers. Warren Buffet dan juga Rubin, mantan Secretary of Treasury AS mengkhawatirkan transaksi ini karena dapat meruntuhkan sistem keuangan global (Harahap, 2004).

Skandal akuntansi dan sistem keuangan konvensional sering terjadi pada korporasi di AS, seperti kasus Enron Corporation pada tahun 2002. Sebagian diantaranya bahkan melakukan penggelembungan modal  dengan metode akuntansi yang dianggap tidak bertentangan dengan peraturan yang ada. Morgan Stanley, yang disewa Departemen Keuangan AS untuk menyelidiki perusahaan keuangan di AS menyimpulkan indikasi tersebut dilakukan juga oleh Fannie Mae dan Freddie Mac.

Bazerman (2002), menyebutkan bahwa skandal besar dalam korporasi yang mempengaruhi industri keuangan dan pasar modal tidak terlepas dari tindakan korupsi dan kriminalitas dari akuntan yang tidak memiliki etika dengan memalsukan angka dan melakukan penyelewengan untuk kepentingan pribadi dan kliennya. Hal ini tidak terlepas dari filsafat dan sifat subjektif dari akuntansi itu sendiri serta hubungan yang sangat erat antara akuntan publik dan kliennya.

Dalam dua dekade ini perkembangan ekonomi yang sangat mencolok adalah perkembangan sistem keuangan dunia. Perkembangan baik kualitas maupun kuantitas transaksi di sektor moneter ini berakibat ketidakseimbangan antara pasar uang dan pasar barang. Pertumbuhan di pasar uang, pasar modal, pasar surat hutang dan pasar derivatif berkembang sangat cepat, hingga pertumbuhannya jauh melebihi pertumbuhan perdagangan di sektor riil.

Dalam suatu seminar mengenai peluang dinar emas dalam perekonomian pada Januari 2003, disebutkan bahwa sejak gugurnya Sistem Bretton Woods pada tahun 1972-1973, telah membuka peluang perdagangan valuta asing, dan kegiatan tersebut telah berkembang secara spektakuler. Volume yang diperdagangkan di pasar dunia meningkat dari US$ 5 miliar per hari di tahun 1973 menjadi lebih dari US$ 900 miliar di tahun 1992, kebanyakan transaksi bersifat spekulatif dan kurang dari 2% yang dipergunakan sebagai pembayaran perdagangan.

Sementara itu, estimasi volume transaksi yang terjadi di pasar keuangan global (currency speculation dan derivative market) pada tahun 2002 saja diperkirakan mencapai lebih dari US$ 1,5 triliun per hari, atau sekitar US$ 400 triliun per tahun, sedangkan volume transaksi yang terjadi pada perdagangan dunia di sektor riil hanya US$ 6 triliun setiap tahun.

Nilai transaksi setiap harinya di pasar keuangan global saat ini dapat berkisar puluhan miliar US$ untuk perdagangan Efek derivatif, baik yang berbasis Efek ekuitas, hak tagih, kredit konsumsi maupun Efek bersifat surat hutang lainnya. Bila kredit perumahan di AS pada tahun 2007 mencapai US$ 12 triliun maka surat berharga CDOs yang merupakan produk hasil sekuritisasi atau turunannya nilainya dapat jauh lebih besar lagi, begitu pula potensi masalah yang ditimbulkannya. Ini belum termasuk lagi dengan Efek derivatif yang berbasis polis Credit Default Swaps (CDSs), yaitu polis yang dibeli oleh pemegang obligasi dari perusahaan asuransi semisal American Insurance Group (AIG) untuk proteksi atas resiko gagal bayarnya bunga dan pokok obligasi oleh perusahaan penerbitnya.

Melihat begitu besarnya nilai Efek dan kredit derivatif yang beredar di AS dan Eropa yang merupakan episentrum kekacauan sistem keuangan global maka potensi krisis yang ditimbulkannya juga maha hebat. Oleh karena itu sistem keuangan global patut segera dibenahi, salah satunya dengan memberi porsi lebih bagi berperannya sistem keuangan dan pembiayaan global berbasis Syariah. Data yang diperoleh dari S & P in Chicago Journal of Int Law, Vol 7, No 2, 2007 and World Bank Website, nilai industri pembiayaan dan keuangan Islam pada tahun 2007 baru sekitar US$ 750 miliar, dengan nilai emisi sukuk (outstanding) dan surat berharga Syariah lainnya diperkirakan sekitar US$ 200 miliar (Sukuk Summit, London 2008). Bila dibandingkan dengan Efek dan kredit derivatif konvensional yang beredar saat ini maka nilai emisi industri keuangan Syariah mungkin hanya sekitar 1 – 2% nya saja dan ini boleh dibilang estimasi yang paling optimis.

Peluang Pembiayaan dan Investasi Syariah di Pasar Modal
Runtuhnya sistem keuangan global yang dipicu oleh menggelembungnya emisi kredit derivatif dan investasi besar-besaran pada portofolio derivatif dan spekulatif yang pernah dikhawatirkan oleh Warren Buffet dan Rubin saat ini sedang berlangsung dan dapat semakin parah bila ketimpangan besar yang terjadi di sektor moneter dan sektor riil dan produktif tidak segera dibenahi.

Perkembangan pesat di sektor moneter dan pemanfaatan uang sebagai komoditas dan bunga sebagai harganya dalam ekonomi konvensional telah menyedot uang dan produktifitas atau nilai tambah yang dihasilkan sektor riil sehingga sektor moneter telah menghambat pertumbuhan sektor riil, menimbulkan inflasi dan menghambat pertumbuhan ekonomi.Dalam sistem ekonomi dan keuangan berbasis Syariah, dikotomi sektor riil dan moneter tidak akan terjadi karena absennya sistem bunga dan larangan memperdagangkan uang sebagai komoditas sehingga corak ekonomi Syariah adalah ekonomi berbasis produktifitas dan sektor riil (real based economy). Sistem ini akan mengembalikan fungsi uang sebagai alat tukar untuk memperlancar kegiatan investasi, produksi, dan perniagaan di sektor riil.

Aktifitas ekonomi dalam Islam dilakukan atas dasar keadilan, tidak saling merugikan, etika usaha yang benar dan baik, larangan riba, spekulasi, gharar, dan atau membiarkan harta (uang) tidak produktif, sehingga aktifitas ekonomi yang dilakukan dapat meningkatkan kegiatan sektor riil sehingga meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Prinsip-prinsip dan konsep Syariah dalam pembiayaan dan transaksi yang lain adalah :

1.     Transaksi bisnis harus berasaskan manfaat
Pemilik modal (shahib al-maal) hanya berhak atas pembagian hasil manfaat menurut nisbah bagi hasil yang telah ditentukan karena itu transaksi pembiayaan yang dianjurkan dalam syariat Islam adalah transaksi pembiayaan yang berdasarkan prinsip bagi hasil dalam bentuk akad mudharabah dan musyarakah.
2.     Transaksi harus spesifik dan transparan
Transaksi harus didasarkan pada itikad baik, spesifik dan transparan sehingga tidak boleh terdapat gharar, yaitu hal-hal yang dapat menimbulkan kerugian akibat bentuk transaksi yang obyeknya tidak jelas atau transaksi yang mengandung ketidakpastian.
3.     Resiko transaksi harus dikelola dengan baik
Transaksi yang dilakukan harus didasari oleh informasi dan pengetahuan yang cukup dalam mengenalisa resiko sehingga dilarang melakukan transaksi dengan motif spekulasi (maysir). Maysir yang terbesar adalah dalam situasi zero-sum game dimana keuntungan suatu pihak merupakan kerugian pihak lain.
4.     Prinsip kehati-hatian (ihtiyath) dalam penempatan dana
Kejelasan informasi transaksi, resiko maturitas, dan resiko sistemik harus tercantum dalam akad (perjanjian) transaksi penempatan dana.
5.     Pengelola dana (mudharib) harus menjaga amanah
Perusahaan dan pihak-pihak selaku pengelola dana harus bertindak profesional dan selalu menjaga kepercayaan yang diberikan oleh pemilik modal sesuai yang diperjanjikan.

Dalam konteks Indonesia, di pasar finansial umumnya dan di pasar modal khususnya, sebagai upaya untuk menangkal dampak lebih buruk akibat gejolak sistem keuangan global, maka sangat didukung langkah-langkah antisipasi penanganan krisis oleh pemerintah, diantaranya adalah pelonggaran likuiditas melalui percepatan belanja kementerian dan penurunan GWM perbankan menjadi 7,5% serta peningkatan jumlah nilai simpanan masyarakat yang dijamin (blanket guarantee) sampai dengan Rp. 2 miliar.

Sementara itu, antisipasi cepat oleh otoritas pasar modal dalam menjaga stabilitas dan meredam kepanikan pemodal di Bursa Saham patut didukung, diantaranya :
  • Melakukan penghentian sementara perdagangan atau suspensi terhadap aktifitas pasar saham (market suspension) bila mekanisme pasar tidak berjalan normal dan diwarnai kepanikan.
  • Kemudahan emiten untuk melakukan pembelian kembali saham-sahamnya (buy back) hingga 20% dari modal disetornya dan tanpa melakukan RUPS serta tidak dibatasinya nilai maksimum yang dapat dibeli terhadap total volume harian.
  • Reksa Dana Terproteksi yang memiliki portofolio SUN dan memegang hingga jatuh tempo tidak harus melakukan marked to market.
  • Melarang untuk sementara perdagangan saham-saham yang belum dimiliki (short selling).
  • Menindak tegas pelaku pasar yang menimbulkan informasi yang menyesatkan.
  • Merencanakan untuk membuat peraturan yang mengatur kegiatan REPO (repurchase aggrement) saham yang nilai transaksinya saat ini cukup signifikan.

Beberapa kebijakan yang diambil Bapepam LK tersebut adalah sesuai Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal yang difatwakan oleh DSN MUI dan kemudian diakomodasi dalam Peraturan Bapepam LK, tentang penerbitan Efek syariah, yaitu larangan short selling atau bai’ al-ma’dum dan mencegah transaksi yang berpotensi terjadi manipulasi dan informasi yang menyesatkan sehingga transaksi berjalan sesuai mekanisme yang berkeadilan (al-’adalah) dan tidak saling merugikan dan membahayakan (laa dharara walaa dhirara) pemodal saham lain.

Larangan transaksi Efek lainnya yang diatur dalam Fatwa No.40/DSN-MUI/X/2003, adalah melakukan penawaran palsu atau manipulasi transaksi Efek (bai’ al-najsy), perdagangan Efek berdasarkan informasi orang dalam (insider trading), pembiayaan transaksi Efek dengan pinjaman berbasis bunga (margin trading), dan melakukan monopoli dan konsorsium atas perdagangan suatu Efek dengan menggunakan bantuan  pihak-pihak lain (melakukan cornering atau ihtikar).   

Gejolak sistem keuangan global yang dipicu oleh pecahnya gelembung investasi Efek dan kredit derivatif yang diciptakan oleh sistem keuangan kapitalis harus menjadi pelajaran bagi semua pemangku kepentingan pasar finansial di Indonesia. Oleh karena itu, selain langkah-langkah dan kebijakan yang diambil oleh Bapepam LK seperti tersebut di atas maka otoritas pasar modal dan pemerintah juga perlu mendukung perkembangan dan pengembangan pembiayaan dan instrumen investasi Syariah yang belum dimanfaatkan secara optimal sebagai berikut :

Sukuk
Definisi menurut Peraturan Bapepam LK No. IX.A.13, tanggal 23 Nov. 2006, adalah Efek Syariah berupa sertifikat atau bukti kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili bagian penyertaan yang tidak terpisahkan atau tidak terbagi atas :
  • Kepemilikan aset berwujud tertentu
  • Nilai manfaat dan jasa atas aset proyek tertentu atau aktivitas investasi tertentu
  • Kepemilikan atas aset proyek terntentu atau aktivitas investasi tertentu

Dalam industri keuangan Syariah, Sukuk merupakan bentuk sekuritisasi yang dapat berbasis aset berwujud, nilai manfaat dan jasa atas aset proyek atau aktifitas investasi tertentu. Sukuk berhubungan hanya dengan satu kontrak dan memelihara kesinambungan aset sepanjang waktu dan ini sangat berbeda dengan Efek derivatif yang mewakili turunan atau derivasi berganda dari kontrak yang berbeda yang dibuat dari kontrak dasar utama.

Sukuk dapat distruktur dengan skema dan akad mudharabah, ijarah, musyarakah, dan isthisna. Saat ini yang sudah diterbitkan di pasar modal dalam negeri adalah Sukuk dengan akad mudharabah dan ijarah, diantaranya :


  • Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)
SBSN atau Sukuk Negara diterbitkan berdasarkan UU No.19, tanggal 7 Mei 2008, dengan skema dan akad ijarah muntahiyah bittamlik atau perjanjian sewa menyewa dengan opsi pemindahan hak milik atas objek yang disewa kepada penyewa setelah perjanjian berakhir (sewa beli). Emisi pertama SBSN oleh pemerintah RI adalah seri IFR 0001 dan IFR 0002 senilai total Rp. 4,7 triliun. Nilai emisi ini hanya 0,9% bila dibandingkan dengan nilai emisi obligasi pemerintah sebesar Rp. 521,67 triliun (lihat Tabel 02). Berdasarkan UU tentang SBSN tersebut maka pemerintah dapat juga menerbitkan Sukuk untuk diperdagangkan di pasar modal internasional dalam bentuk Sukuk Global.
  • Sukuk Korporasi
Diterbitkan pertama kali oleh PT Indosat Tbk dengan akad mudharabah atau perjanjian pengelolaan dana berbasis bagi hasil, senilai Rp. 175 milyar, dengan indikasi bagi hasil 15,75% pada akhir tahun 2002, yang saat itu berdasarkan Fatwa No.32/DSN-MUI/IX/2002, dinamakan sebagai Obligasi Syariah. Setelah keluarnya Peraturan Bapepam LK No.IX.A.13. maka istilah Sukuk kemudian mulai digunakan. Nilai emisi Obligasi Syariah dan atau Sukuk Korporasi hingga Agustus 2008 adalah Rp. 4,2 triliun atau hanya 5,6% dibandingkan dengan nilai emisi obligasi korporasi yang mencapai Rp. 74,2 triliun. Sebagian besar Sukuk korporasi tersebut diterbitkan dengan akad ijarah yaitu akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu obyek dengan imbalan sewa tanpa diikuti dengan perpindahan kepemilikan, senilai Rp. 2,84 triliun atau sekitar 67,5%, sisanya dengan menggunakan akad mudharabah.

Efek Beragun Aset Syariah
Merupakan Efek Syariah yang dapat disekuritisasi dari aset keuangan berupa tagihan yang timbul dari pembiayaan murabahah, kartu kredit syariah, Surat Berharga Syariah yang diterbitkan oleh Negara atau korporasi dan tagihan lainnya yang didasari oleh skema pembiayaan syariah. Bapepam LK sudah memberikan peluang dan sangat mendorong pelaku pasar keuangan untuk menerbitkan instrumen Efek Syariah ini yang dalam Peraturan No. II.K.1 merupakan salah satu Efek Syariah yang masuk dalam Daftar Efek Syariah. Instrumen Syariah ini cukup potensial bagi pendanaan kembali Lembaga Keuangan Syariah yang memiliki aset keuangan berupa tagihan seperti dijelaskan di awal paragraf sekaligus alternatif investasi Syariah bagi portofolio Reksa Dana Syariah, masyarakat pemodal dan institusi pengelola dana lainnya. Perusahaan Manajer Investasi juga dapat menerbitkan produk investasi dengan skema Kontrak Investasi Kolektif dengan underlying asset Efek Beragun Aset Syariah (KIKEBA Syariah).

Reksa Dana Syariah
Reksa Dana Syariah adalah Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam UU Pasar Modal dan peraturan pelaksanaannya yang Akad maupun cara penerbitannya memenuhi Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal. Reksa Dana Syariah dapat berupa Reksa Dana Konvensional seperti yang dikenal selama ini yaitu RD Saham Syariah, RD Pend. Tetap Syariah, dan RD Campuran Syariah. Data yang diperoleh hingga 31 Juli 2008, nilai dana kelolaan Reksa Dana Syariah (skema konvensional) termasuk RD Indeks Syariah (skema terstruktur) adalah Rp. 3,34 triliun atau hanya 3,49% dari nilai dana kelolaan industri Reksa Dana yang mencapai Rp. 95,6 triliun (lihat Tabel 03).

Salah satu Reksa Dana Syariah dengan skema terstruktur yang belum diterbitkan dan memiliki prospek imbal hasil yang menarik dan relatif aman untuk jangka panjang adalah RD Terproteksi Syariah dengan portofolio utama pada Surat Berharga Syariah yang telah dan akan diterbitkan oleh pemerintah seperti SBSN dan Indonesian Global Sukuk.

Reksa Dana Syariah dengan skema terstruktur lainnya yang dapat menjadi alternatif investasi syariah adalah Reksa Dana Kontrak Investasi Kolektif dengan Penyertaan Terbatas. Reksa Dana Syariah jenis ini dapat dimanfaatkan sebagai wadah penghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio Efek Syariah semacam Efek Beragun Aset Syariah atau Efek Syariah hasil sekuritisasi Islami lainnya.



Saham Syariah
Saham Syariah yang dimaksud disini adalah saham-saham yang masuk dalam Daftar Efek Syariah (DES) yang diterbitkan oleh Bapepam LK dan dievaluasi secara berkala. Kriteria emiten atau perusahaan publik yang masuk dalam DES tersebut adalah emiten yang jenis usaha, produk, Akad, serta cara pengelolaan usahanya tidak bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah, yaitu bukan usaha perjudian, bukan lembaga keuangan konvensional (ribawi), tdak memproduksi, mendistribusikan dan memperdagangkan barang atau jasa yang haram, merusak moral dan bersifat mudarat serta emiten yang tidak memiliki struktur permodalan dengan pembiayaan hutang berbasis bunga lebih dominan dari ekuitasnya.

Salah satu instumen investasi Syariah di Bursa Efek Indonesia adalah investasi dalam saham-saham yang masuk dalam DES. Sifat investasi dalam saham adalah potensi keuntungan yang tinggi dalam jangka panjang dengan volatilitas perubahan harga pasar yang tinggi pula dalam jangka pendek. Investasi dalam saham dibolehkan dalam Islam sepanjang dalam koridor etika, aturan dan penerapan transaksi yang sesuai dengan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal.

Saat ini merupakan timing untuk mulai berinvestasi pada saham-saham perusahaan yang memiliki prospek pertumbuhan usaha yang baik di masa mendatang dengan struktur permodalan yang sangat sehat, beberapa diantaranya adalah saham-saham Badan Usaha Milik Negara,  PT Tambang Batubara Bukit Asam (PTBA), PT Timah Persero (TINS), PT Aneka Tambang (ANTM), dan PT Semen Gresik (SMGR). Valuasi saham-saham tersebut sangat murah dan menarik (valuasi konsensus pasar menggunakan harga tanggal 17 Okt. 08), yaitu hanya memiliki rasio kemahalan (Price Earning Ratio) antara 3 hingga 5 X, dan bahkan memiliki posisi kas netto (net cash) dalam Neraca keuangannya.  Apalagi dengan memanfaatkan momentum kebijakan buy back yang disarankan oleh pemerintah kepada manajemen BUMN tersebut.



Demikian sumbangan pemikiran sederhana yang dapat kami sampaikan dalam Seminar mengenai Gejolak Sistem Keuangan Global dan Peluang Pengembangan Ekonomi Syariah yang diselenggarakan oleh Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Ekonomi, Konsentrasi Islamic Economics and Finance – IEF, UNIVERSITAS TRISAKTI.
Wallohu a’lam bishowab

Jakarta, 24 Oktober 2008

Nuryana Hidayat SE., ME.
Director – PT Gani Asset Management

1 komentar: